Praktek Cabe-cabean Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial
DEPOK - Kemerosotan moral para remaja ditandai dengan munculnya fenomena cabe-cabean.
Istilah berkonotasi negatif tersebut menjadi slogan para remaja putri
yang menjadi hadiah ataupun piala bergilir dalam sebuah komunitas,
seperti gerombolan remaja pria bermotor.
Jika ditelaah dari segi Bahasa Indonesia, cabai atau cabe adalah
sesuatu yang dianalogikan dengan bentuk yang kecil. Hal itu dikatakan
Pengamat Budaya Modern Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB)
Universitas Indonesia (UI) Ibnu Wahyudin.
"Cabe itu kan sesuatu yang kecil berarti menandai bahwa julukan itu
diberikan kepada perempuan yang masih belasan tahun atau remaja, mereka
kan masih mudah sekali tergiur dengan hal - hal yang sifatnya hedonis,
duniawi, salah satunya anak motor," katanya di Kampus UI, Depok, Rabu
(12/03/2014).
Cabe-cabean, kata Ibnu, tidak pernah memikirkan risiko dari
perbuatannya karena masih proses pencarian identitas. Intinya bagi
mereka sesuatu yang hura-hura, eksis, semuanya dilakukan tak ada
pertimbangan.
"Dan cabe – cabean identik dengan pakai celana super pendek dan ketat atau hot pants, karena kalau pakai rok susah naik motornya," jelasnya.
Praktek atau gaya hidup cabe - cabean,
menurutnya sebetulnya sudah ada embrionya sejak zaman penjajahan
Belanda di tahun 1800an. Saat itu ada istilah 'Nyai' yang juga
berkonotasi negatif sebagai perempuan 'simpanan' tuan Belanda. Bahkan
Nyai pada saat itu juga tidak segan untuk mengejar tuan Belanda yang
bukan pribumi untuk menaikan status sosial.
"Dari dulu ada, seperti cabe-cabean,
sudah ada sejak 1800-an, dulu ada cerita Nyai Ratna yang ditulis Raden
Mas Tirto Ardisuryo, perintis pers Indonesia. Perilakunya yang mirip.
Nyai zaman Hindia Belanda juga masih muda, 18 tahunan. Ketemu cowok
yang ganteng, Stovia, dikejar pakai bendinya hanya untuk ngajak
bercinta. Jadi stereotipe perempuan Indonesia dulu malu - malu, namun
ada juga yang seperti Nyai," ungkapnya.
Namun memang ukuran moralitas dari zaman ke zaman berbeda, didukung
dengan adanya kesadaran beragama, rambu sosial dan norma - norma. Nyai,
kata Ibnu, dulu motifnya bermacam - macam, dari mulai alasan ekonomi
hingga cinta.
"Orangtua kan saat itu ingin status sosialnya meningkat, pribumi lebih
kalah. Setelah Nyai terlepas dari satu tuan, lalu tuan lain lagi.
Tinggal bersama tetapi enggak menikah, wanita simpanan," katanya.
Lalu sejak zaman kemerdekaan pun Pasar Senen di Jakarta Pusat juga
terkenal sebagai tempat untuk mencari kebutuhan biologis atau
kesenangan seksual. Belum lagi saat Dolly di Surabaya, Jawa Timur,
masih tumbuh subur.
"Artinya kebutuhan mencari kenikmatan seksual bisa berbagai cara, sesuatu yang formal. Namun kini cabe – cabean
kecenderungannya mereka punya kehidupan demi syahwat yang tak diikat
norma, kedewasaan sudah berbeda. Usia belasan sekarang lagi cari
identitas. Ukurannya bukan uang tetapi masalah keren atau enggak keren,
makanya mereka ikut komunitas itu," tegasnya.
Istilah cabe-cabean
makin populer sejak tiga tahunan terakhir menyusul dengan lahirnya
bahasa alay. Kecanggihan teknologi juga memicu timbulnya bahasa alay.
"Dari mulai unyu - unyu, lalu 'otw' kemudian 'gw', sosial media,
ponsel, dan asal mula SMS itu memancing berbagai bahasa, memicu memberi
lahan berkreasi dengan bahasa disingkat - singkat," papar Ibnu.
Sebelumnya, lanjutnya, istilah jablay juga sempat populer. Namun jablay kelasnya lebih individual, berbeda ketimbang cabe-cabean yang memang lebih bergabung pada komunitas.
"Kalau jablay individual, lalu istilah bagi wanita yang sering
ditinggalkan pasangannya. Pulang malu enggak pulang rindu. Antara satu
orang ke orang lain. Kalau cabe-cabean lebih kepada lifestyle, dan sebagai hadiah ketika grupnya dikalahkan, yang penting eksisnya, bukan soal bayar enggak bayar," tandasnya.
(ful)
Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar