Entah setan apalagi yang mempengaruhi
alam bawah sadar eks mahasiswiku. Seingat saya, ia termasuk mahasiswi
yang lumayan berparas cantik, cukup cerdas dan sopan. Saya akui
penampilannya saat jadi mahasiswiku terbilang wah. Handphone dan jenis
pakaian serta dandanannya lumayan fashionable.
Sudah menjadi rahasia umumlah, kelas-kelas sosial dan teknik berpakaian anak kuliahan mulai dari ala kadarnya sampai yang top fashion.
Belum ada juga riset perilaku tentang hubungan tingkat ekonomi dan
pendapatan orangtua terhadap kecenderungan berpakaian dan penggunaan
gadget pada mahasiswa. Kita hanya berasumsi bahwa terdapat korelasi antara tingkat ekonomi dengan life style mereka.
Sekali ini terjadi pemandangan negatif,
menyuramkan pikiran dan perasaan saya. Bagaimana mungkin seorang (eks
mahasiswi) memperdagangkan tubuhnya hanya tuntutan gaya hidup seperti
di kala masih menjadi mahasiswi. Apa karena kiriman uang dari orangtua
tak sebesar dulu lagi?. Ataukah ingin cepat bekerja namun sulitnya
menjadi pegawai negeri atau sulitnya diterima bekerja di perusahaan
bonafid dan BUMN semisal perbankan dan telkom?.
Entahlah…informasi yang saya dapatkan
bahwa eks mahasiswiku itu merasa kehilangan jati diri dan identitas
saat-saat ini. Ia tak lagi self confidence dengan performance dirinya setelah menjadi seorang alumni.
Kisah ini saya awali saat bertemu dia
di sebuah rumah makan di bilangan Jalan Irian-Kota Makassar. Saya tak
menyangka juga pada pukul 03.00-an, dia berada di tempat itu,
Sebetulnya hal ini wajar sebab rumah makan yang kerap warga Makassar
menyebut MIe-Titi terbuka 24 jam.
Namun yang mengherankan buat saya,
mengapa eks mahasiswi itu “berada” di pusat kota itu dini hari dengan
pakaian yang sudah mirip penjaja seks. Ada apa dengannya?. Apakah telah terjadi revolusi perilaku pada dirinya?. Mengapa justru telah menjadi alumni, ia tidak lebih baik? Ini teropongan dari luar saya. Pandangan kasat mata saya.
Apakah dengan keterjepitan ekonomi
ataukah kesempitan hidup yang mungkin saja telah terbiasa berperilaku
“wah” saat mahasiswi membuat ia harus pertahankan gaya hidup itu dengan
taruhan kelewat mahal yakni menjajakkan diri walau sifatnya freelance?.
Saya sayangkan sekali sebab ia telah
ditempa selama kuliah untuk giat berpikir universe dan logis. Logiskah
mengorbankan diri hanya gara-gara mempertahanakan gaya hidup yang
sebetulnya bukanlah hal esensial?. Ah, pikiran saya ngaco malam itu.
Malam yang cukup dingin saat itu, tak
sedikitpun alasanku untuk menyalahkannya, saya hanya bertanya-tanya
gejala apa yang terjadi pada dirinya. Saat itupun saya terdorong untuk
menghampirinya sebab sedari tadi juga ia sekali-sekali mengarahkan
pandangannya kepadaku. Ia masih sendiri di mejanya, saya berdiri dan
beranjak dan menghampirinya. Dengan penuh keraguan ia memberi senyuman.
Kami ngobrol seadanya dan ternyata dia
dari tadi pengen tinggalkan tempat ini hanya saja risih karena harus
melewati meja saya. Begitu pengakuan jujurnya kepadaku.
* * *
Karena arlojiku sudah menunjukkan pukul
04.00, sayapun hendak pulang. Saya bayar kasir rumah makan itu sekalian
bayarkan dia. Ia ternyata mengikutiku. Saya sadar ia di belakangku.
Saya tanya dia mau ke mana?. Bukannya dia menjawab pertanyaanku tetapi
dengan malu dan sangat berat -tentunya juga segan- ia minta uang ongkos
taxi pulang.
Saya tentu kaget sebab hal ini tak
mungkin ia lakukan untuk meminta ongkos taksi. Tanyaku dalam hati,
apakah ia benar-benar tak punya uang? Ataukah ini hanya trik untuk
suatu maksud dan tujuan.
Ini membuatku benar-benar penasaran
akan tanyaku dalam hati dan mengerutkan dahiku berpikir. Ah, kenapa
saya tidak tawarkan saja untuk mengantarkan pulang ke rumahnya. Rupanya
ia tak menolak untuk kuantar.
Dalam perjalanan, kami sama-sama segan
bertanya satu sama lain. Satu-satunya pertanyaan yang saya ajukan
adalah apa sudah kerja?. Inilah pertanyaan yang sukses membuka obrolan
kami berdua di atas mobil.
Terungkap sudah saat ia menyampaikannya
dengan nada suara terbata-bata. Pengakuannya sudah tak gadis lagi, ia
pernah pacaran dengan seorang cowok yang berkantong lumayan. Cowok
itulah yang menjadi tumpuan dalam mempertahankan gaya hidup “wah”nya
selama dalam masa pengangguran.
Ia mengakui tak ingin dikatakan
“mundur” dalam dunia pergaulan masa kini, dunia hiruk pikuknya IT dan
beragamnya produk-produk gadget. Ia tak rela memiliki hanya satu
handphone, ia sudah terbiasa gonta-ganti handphone dan juga membeli
baju-baju bermerek.
Tuturannya memperlihatkan bahwa ia
pacaran dengan cowok itu dengan maksud dapat mensuplai lembaran rupiah
akan kebutuhan gaya hidupnya. Sayangnya, sang cowok memutuskannya sebab
sang cowok telah merasa kalau eks mahasiswiku ini menguras isi
dompetnya.
Tak perlulah saya melanjutkan
kisah ini sebab ujung-ujungnya adalah eks mahasiswiku ini telah menjual
dirinya demi sebuah gengsi pergaulan, gengsi gaya hidup. Itulah
simpulan akhirku dari penuturannya.
Pesan perilaku: “Jika dunia telah
diguncang peradaban dengan kecanggihannya. Pertanyaannya, berapa banyak
manusia yang belum siap menghadapinya”
Demikianlah tulisan sederhanaku malam ini.. Semoga bermanfaat.. Selamat Malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar