Selasa, 09 September 2014

Demi Tuntutan Gaya Hidup, Eks Mahasiswiku Itupun Jual Diri

Entah setan apalagi yang mempengaruhi alam bawah sadar eks mahasiswiku. Seingat saya, ia termasuk mahasiswi yang lumayan berparas cantik, cukup cerdas dan sopan. Saya akui penampilannya saat jadi mahasiswiku terbilang wah. Handphone dan jenis pakaian serta dandanannya lumayan fashionable.

Sudah menjadi rahasia umumlah, kelas-kelas sosial dan teknik berpakaian anak kuliahan mulai dari ala kadarnya sampai yang top fashion. Belum ada juga riset perilaku tentang hubungan tingkat ekonomi dan pendapatan orangtua terhadap kecenderungan berpakaian dan penggunaan gadget pada mahasiswa. Kita hanya berasumsi bahwa terdapat korelasi antara tingkat ekonomi dengan life style mereka.

Sekali ini terjadi pemandangan negatif, menyuramkan pikiran dan perasaan saya. Bagaimana mungkin seorang (eks mahasiswi) memperdagangkan tubuhnya hanya tuntutan gaya hidup seperti di kala masih menjadi mahasiswi. Apa karena kiriman uang dari orangtua tak sebesar dulu lagi?. Ataukah ingin cepat bekerja namun sulitnya menjadi pegawai negeri atau sulitnya diterima bekerja di perusahaan bonafid dan BUMN semisal perbankan dan telkom?.

Entahlah…informasi yang saya dapatkan bahwa eks mahasiswiku itu merasa kehilangan jati diri dan identitas saat-saat ini. Ia tak lagi self confidence dengan performance dirinya setelah menjadi seorang alumni.
Kisah ini saya awali saat bertemu dia di sebuah rumah makan di bilangan Jalan Irian-Kota Makassar. Saya tak menyangka juga pada pukul 03.00-an, dia berada di tempat itu, Sebetulnya hal ini wajar sebab rumah makan yang kerap warga Makassar menyebut MIe-Titi terbuka 24 jam.

Namun yang mengherankan buat saya, mengapa eks mahasiswi itu “berada” di pusat kota itu dini hari dengan pakaian yang sudah mirip penjaja seks. Ada apa dengannya?. Apakah telah terjadi revolusi perilaku pada dirinya?. Mengapa justru telah menjadi alumni, ia tidak lebih baik? Ini teropongan dari luar saya. Pandangan kasat mata saya.

Apakah dengan keterjepitan ekonomi ataukah kesempitan hidup yang mungkin saja telah terbiasa berperilaku “wah” saat mahasiswi membuat ia harus pertahankan gaya hidup itu dengan taruhan kelewat mahal yakni menjajakkan diri walau sifatnya freelance?.

Saya sayangkan sekali sebab ia telah ditempa selama kuliah untuk giat berpikir universe dan logis. Logiskah mengorbankan diri hanya gara-gara mempertahanakan gaya hidup yang sebetulnya bukanlah hal esensial?.  Ah, pikiran saya ngaco malam itu.

Malam yang cukup dingin saat itu, tak sedikitpun alasanku untuk menyalahkannya, saya hanya bertanya-tanya gejala apa yang terjadi pada dirinya. Saat itupun saya terdorong untuk menghampirinya sebab sedari tadi juga ia sekali-sekali mengarahkan pandangannya kepadaku. Ia masih sendiri di mejanya, saya berdiri dan beranjak dan menghampirinya. Dengan penuh keraguan ia memberi senyuman.
Kami ngobrol seadanya dan ternyata dia dari tadi pengen tinggalkan tempat ini hanya saja risih karena harus melewati meja saya. Begitu pengakuan jujurnya kepadaku.
* * *
Karena arlojiku sudah menunjukkan pukul 04.00, sayapun hendak pulang. Saya bayar kasir rumah makan itu sekalian bayarkan dia. Ia ternyata mengikutiku. Saya sadar ia di belakangku. Saya tanya dia mau ke mana?. Bukannya dia menjawab pertanyaanku tetapi dengan malu dan sangat berat -tentunya juga segan- ia minta uang ongkos taxi pulang.

Saya tentu kaget sebab hal ini tak mungkin ia lakukan untuk meminta ongkos taksi. Tanyaku dalam hati, apakah ia benar-benar tak punya uang? Ataukah ini hanya trik untuk suatu maksud dan tujuan.
Ini membuatku benar-benar penasaran akan tanyaku dalam hati dan mengerutkan dahiku berpikir. Ah, kenapa saya tidak tawarkan saja untuk mengantarkan pulang ke rumahnya. Rupanya ia tak menolak untuk kuantar.

Dalam perjalanan, kami sama-sama segan bertanya satu sama lain. Satu-satunya pertanyaan yang saya ajukan adalah apa sudah kerja?. Inilah pertanyaan yang sukses membuka obrolan kami berdua di atas mobil.
Terungkap sudah saat ia menyampaikannya dengan nada suara terbata-bata. Pengakuannya sudah tak gadis lagi, ia pernah pacaran dengan seorang cowok yang berkantong lumayan. Cowok itulah yang menjadi tumpuan dalam mempertahankan gaya hidup “wah”nya selama dalam masa pengangguran.
Ia mengakui tak ingin dikatakan “mundur” dalam dunia pergaulan masa kini, dunia hiruk pikuknya IT dan beragamnya produk-produk gadget. Ia tak rela memiliki hanya satu handphone, ia sudah terbiasa gonta-ganti handphone dan juga membeli baju-baju bermerek.

Tuturannya memperlihatkan bahwa ia pacaran dengan cowok itu dengan maksud dapat mensuplai lembaran rupiah akan kebutuhan gaya hidupnya. Sayangnya, sang cowok memutuskannya sebab sang cowok telah merasa kalau eks mahasiswiku ini menguras isi dompetnya.

Tak perlulah saya melanjutkan kisah ini sebab ujung-ujungnya adalah eks mahasiswiku ini telah menjual dirinya demi sebuah gengsi pergaulan, gengsi gaya hidup. Itulah simpulan akhirku dari penuturannya.

Pesan perilaku: “Jika dunia telah diguncang peradaban dengan kecanggihannya. Pertanyaannya, berapa banyak manusia yang belum siap menghadapinya”

Demikianlah tulisan sederhanaku malam ini.. Semoga bermanfaat.. Selamat Malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 09 September 2014

Demi Tuntutan Gaya Hidup, Eks Mahasiswiku Itupun Jual Diri

Entah setan apalagi yang mempengaruhi alam bawah sadar eks mahasiswiku. Seingat saya, ia termasuk mahasiswi yang lumayan berparas cantik, cukup cerdas dan sopan. Saya akui penampilannya saat jadi mahasiswiku terbilang wah. Handphone dan jenis pakaian serta dandanannya lumayan fashionable.

Sudah menjadi rahasia umumlah, kelas-kelas sosial dan teknik berpakaian anak kuliahan mulai dari ala kadarnya sampai yang top fashion. Belum ada juga riset perilaku tentang hubungan tingkat ekonomi dan pendapatan orangtua terhadap kecenderungan berpakaian dan penggunaan gadget pada mahasiswa. Kita hanya berasumsi bahwa terdapat korelasi antara tingkat ekonomi dengan life style mereka.

Sekali ini terjadi pemandangan negatif, menyuramkan pikiran dan perasaan saya. Bagaimana mungkin seorang (eks mahasiswi) memperdagangkan tubuhnya hanya tuntutan gaya hidup seperti di kala masih menjadi mahasiswi. Apa karena kiriman uang dari orangtua tak sebesar dulu lagi?. Ataukah ingin cepat bekerja namun sulitnya menjadi pegawai negeri atau sulitnya diterima bekerja di perusahaan bonafid dan BUMN semisal perbankan dan telkom?.

Entahlah…informasi yang saya dapatkan bahwa eks mahasiswiku itu merasa kehilangan jati diri dan identitas saat-saat ini. Ia tak lagi self confidence dengan performance dirinya setelah menjadi seorang alumni.
Kisah ini saya awali saat bertemu dia di sebuah rumah makan di bilangan Jalan Irian-Kota Makassar. Saya tak menyangka juga pada pukul 03.00-an, dia berada di tempat itu, Sebetulnya hal ini wajar sebab rumah makan yang kerap warga Makassar menyebut MIe-Titi terbuka 24 jam.

Namun yang mengherankan buat saya, mengapa eks mahasiswi itu “berada” di pusat kota itu dini hari dengan pakaian yang sudah mirip penjaja seks. Ada apa dengannya?. Apakah telah terjadi revolusi perilaku pada dirinya?. Mengapa justru telah menjadi alumni, ia tidak lebih baik? Ini teropongan dari luar saya. Pandangan kasat mata saya.

Apakah dengan keterjepitan ekonomi ataukah kesempitan hidup yang mungkin saja telah terbiasa berperilaku “wah” saat mahasiswi membuat ia harus pertahankan gaya hidup itu dengan taruhan kelewat mahal yakni menjajakkan diri walau sifatnya freelance?.

Saya sayangkan sekali sebab ia telah ditempa selama kuliah untuk giat berpikir universe dan logis. Logiskah mengorbankan diri hanya gara-gara mempertahanakan gaya hidup yang sebetulnya bukanlah hal esensial?.  Ah, pikiran saya ngaco malam itu.

Malam yang cukup dingin saat itu, tak sedikitpun alasanku untuk menyalahkannya, saya hanya bertanya-tanya gejala apa yang terjadi pada dirinya. Saat itupun saya terdorong untuk menghampirinya sebab sedari tadi juga ia sekali-sekali mengarahkan pandangannya kepadaku. Ia masih sendiri di mejanya, saya berdiri dan beranjak dan menghampirinya. Dengan penuh keraguan ia memberi senyuman.
Kami ngobrol seadanya dan ternyata dia dari tadi pengen tinggalkan tempat ini hanya saja risih karena harus melewati meja saya. Begitu pengakuan jujurnya kepadaku.
* * *
Karena arlojiku sudah menunjukkan pukul 04.00, sayapun hendak pulang. Saya bayar kasir rumah makan itu sekalian bayarkan dia. Ia ternyata mengikutiku. Saya sadar ia di belakangku. Saya tanya dia mau ke mana?. Bukannya dia menjawab pertanyaanku tetapi dengan malu dan sangat berat -tentunya juga segan- ia minta uang ongkos taxi pulang.

Saya tentu kaget sebab hal ini tak mungkin ia lakukan untuk meminta ongkos taksi. Tanyaku dalam hati, apakah ia benar-benar tak punya uang? Ataukah ini hanya trik untuk suatu maksud dan tujuan.
Ini membuatku benar-benar penasaran akan tanyaku dalam hati dan mengerutkan dahiku berpikir. Ah, kenapa saya tidak tawarkan saja untuk mengantarkan pulang ke rumahnya. Rupanya ia tak menolak untuk kuantar.

Dalam perjalanan, kami sama-sama segan bertanya satu sama lain. Satu-satunya pertanyaan yang saya ajukan adalah apa sudah kerja?. Inilah pertanyaan yang sukses membuka obrolan kami berdua di atas mobil.
Terungkap sudah saat ia menyampaikannya dengan nada suara terbata-bata. Pengakuannya sudah tak gadis lagi, ia pernah pacaran dengan seorang cowok yang berkantong lumayan. Cowok itulah yang menjadi tumpuan dalam mempertahankan gaya hidup “wah”nya selama dalam masa pengangguran.
Ia mengakui tak ingin dikatakan “mundur” dalam dunia pergaulan masa kini, dunia hiruk pikuknya IT dan beragamnya produk-produk gadget. Ia tak rela memiliki hanya satu handphone, ia sudah terbiasa gonta-ganti handphone dan juga membeli baju-baju bermerek.

Tuturannya memperlihatkan bahwa ia pacaran dengan cowok itu dengan maksud dapat mensuplai lembaran rupiah akan kebutuhan gaya hidupnya. Sayangnya, sang cowok memutuskannya sebab sang cowok telah merasa kalau eks mahasiswiku ini menguras isi dompetnya.

Tak perlulah saya melanjutkan kisah ini sebab ujung-ujungnya adalah eks mahasiswiku ini telah menjual dirinya demi sebuah gengsi pergaulan, gengsi gaya hidup. Itulah simpulan akhirku dari penuturannya.

Pesan perilaku: “Jika dunia telah diguncang peradaban dengan kecanggihannya. Pertanyaannya, berapa banyak manusia yang belum siap menghadapinya”

Demikianlah tulisan sederhanaku malam ini.. Semoga bermanfaat.. Selamat Malam.

0 komentar:

Posting Komentar

The Voice of Papuan Students Alliance

Link Mitra