Rabu, 10 September 2014

Awas, Penikmat 'Ayam Kampus' Banyak Tertular HIV/AIDS



Awas, Penikmat 'Ayam Kampus' Banyak Tertular HIV/AIDS Ilustrasi (Foto: Dok. Okezone) DEPOK - Kenikmatan sesaat atau surga dunia mungkin bisa diperoleh oleh para pria hidung belang penikmat 'ayam kampus'. Mereka yang rela menghambur-hamburkan uangnya demi memuaskan nafsu syahwat mungkin lupa dengan bahaya dan dosa yang mengancam baik secara agama maupun kesehatan fisik.

Ancaman penyakit menular seksual hingga HIV/AIDS tentu tak lepas dari kehidupan para 'gadun', begitulah istilah bagi 'om-om' berduit. Jangankan pengguna 'ayam kampus', sang penjaja seks atau si 'ayam kampus' sendiri sebetulnya mengaku takut tertular.

"Sebenarnya saya khawatir sudah tertular HIV karena sudah berapa banyak pria yang berhubungan dengan saya, ada yang pakai kondom ada juga yang enggak mau, banyak LSM HIV/AIDS yang melakukan konseling dan meminta saya untuk ikut tes VCT, tapi saya masih belum berani," kata Mawar (24), bukan nama sebenarnya, 'ayam kampus' salah satu perguruan tinggi swasta di Depok.

Pegiat HIV/AIDS di Depok Deny Eka Saputra menuturkan, dari data yang ia miliki, selain karena narkoba suntik, paling banyak Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah karena seringkali 'jajan' atau bergonta - ganti pasangan. Ia menambahkan, justru penikmat 'ayam kampus' lebih banyak tertular ketimbang si 'ayam kampus' itu sendiri.

"30 persen lelaki pengguna 'ayam kampus' atau si gadunnya lebih banyak yang tertular. Pengguna lebih banyak. Yang lainnya penerima Wanita Pekerja Seks (WPS) atau juga waria, ada lho waria di Depok yang punya suami," ungkapnya kepada Okezone.

Deny menambahkan setiap pasien atau calon pasiennya didorong untuk mau menguji tes VCT dan tes darah. Namun kebanyakan dari mereka tidak berani melakukannya.
"Apalagi waria, kalau sudah ngomong kan bawel suaranya juga besar, ngamuk - ngamuk marah-marah pernah karena ternyata terjangkit HIV, katanya dokternya salah," tuturnya.

Deny menambahkan banyaknya 'ayam kampus' yang terkena HIV/AIDS lebih sulit untuk diketahui. Karena mereka cenderung tertutup dan identitasnya tidak terlihat atau berbeda dari mahasiswi kebanyakan.

"Kita harus antar jemput pasti. Kita duluan yang jemput bola. Mereka pasti tertutup. Sulitnya lagi mereka kerja malam. Karena itu selain terjun ke bawah, kami juga menjaringnya lewat sosial media, kebanyakan dari mereka uangnya memang untuk senang-senang," tandasnya.
(sus)
Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda.

Praktek Cabe-cabean Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial

Praktek Cabe-cabean Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial



Praktek Cabe-cabean Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial Ilustrasi (Dok Okezone) DEPOK - Kemerosotan moral para remaja ditandai dengan munculnya fenomena cabe-cabean. Istilah berkonotasi negatif tersebut menjadi slogan para remaja putri yang menjadi hadiah ataupun piala bergilir dalam sebuah komunitas, seperti gerombolan remaja pria bermotor.
 
Jika ditelaah dari segi Bahasa Indonesia, cabai atau cabe adalah sesuatu yang dianalogikan dengan bentuk yang kecil. Hal itu dikatakan Pengamat Budaya Modern Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Ibnu Wahyudin.
 
"Cabe itu kan sesuatu yang kecil berarti menandai bahwa julukan itu diberikan kepada perempuan yang masih belasan tahun atau remaja, mereka kan masih mudah sekali tergiur dengan hal - hal yang sifatnya hedonis, duniawi, salah satunya anak motor," katanya di Kampus UI, Depok, Rabu (12/03/2014).
 
Cabe-cabean, kata Ibnu, tidak pernah memikirkan risiko dari perbuatannya karena masih proses pencarian identitas. Intinya bagi mereka sesuatu yang hura-hura, eksis, semuanya dilakukan tak ada pertimbangan.
 
"Dan cabe – cabean identik dengan pakai celana super pendek dan ketat atau hot pants, karena kalau pakai rok susah naik motornya," jelasnya.
 
Praktek atau gaya hidup cabe - cabean, menurutnya sebetulnya sudah ada embrionya sejak zaman penjajahan Belanda di tahun 1800an. Saat itu ada istilah 'Nyai' yang juga berkonotasi negatif sebagai perempuan 'simpanan' tuan Belanda. Bahkan Nyai pada saat itu juga tidak segan untuk mengejar tuan Belanda yang bukan pribumi untuk menaikan status sosial.
 
"Dari dulu ada, seperti cabe-cabean,  sudah ada sejak 1800-an, dulu ada cerita Nyai Ratna yang ditulis Raden Mas Tirto Ardisuryo, perintis pers Indonesia. Perilakunya yang mirip. Nyai zaman Hindia Belanda juga masih muda, 18 tahunan. Ketemu cowok yang ganteng, Stovia, dikejar pakai bendinya hanya untuk ngajak bercinta. Jadi stereotipe perempuan Indonesia dulu malu - malu, namun ada juga yang seperti Nyai," ungkapnya.
 
Namun memang ukuran moralitas dari zaman ke zaman berbeda, didukung dengan adanya kesadaran beragama, rambu sosial dan norma - norma. Nyai, kata Ibnu, dulu motifnya bermacam - macam, dari mulai alasan ekonomi hingga cinta.
 
"Orangtua kan saat itu ingin status sosialnya meningkat, pribumi lebih kalah. Setelah Nyai terlepas dari satu tuan, lalu tuan lain lagi. Tinggal bersama tetapi enggak menikah, wanita simpanan," katanya.
 
Lalu sejak zaman kemerdekaan pun Pasar Senen di Jakarta Pusat juga terkenal sebagai tempat untuk mencari kebutuhan biologis atau kesenangan seksual. Belum lagi saat Dolly di Surabaya, Jawa Timur, masih tumbuh subur.
 
"Artinya kebutuhan mencari kenikmatan seksual bisa berbagai cara, sesuatu yang formal. Namun kini cabe – cabean kecenderungannya mereka punya kehidupan demi syahwat yang tak diikat norma, kedewasaan sudah berbeda. Usia belasan sekarang lagi cari identitas. Ukurannya bukan uang tetapi masalah keren atau enggak keren, makanya mereka ikut komunitas itu," tegasnya.
 
Istilah cabe-cabean makin populer sejak tiga tahunan terakhir menyusul dengan lahirnya bahasa alay. Kecanggihan teknologi juga memicu timbulnya bahasa alay. "Dari mulai unyu - unyu, lalu 'otw' kemudian 'gw', sosial media, ponsel, dan asal mula SMS itu memancing berbagai bahasa, memicu memberi lahan berkreasi dengan bahasa disingkat - singkat," papar Ibnu.
 
Sebelumnya, lanjutnya, istilah jablay juga sempat populer. Namun jablay kelasnya lebih individual, berbeda ketimbang cabe-cabean yang memang lebih bergabung pada komunitas.
 
"Kalau jablay individual, lalu istilah bagi wanita yang sering ditinggalkan pasangannya. Pulang malu enggak pulang rindu. Antara satu orang ke orang lain. Kalau cabe-cabean lebih kepada lifestyle, dan sebagai hadiah ketika grupnya dikalahkan, yang penting eksisnya, bukan soal bayar enggak bayar," tandasnya.
(ful)

Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda.

Demi Rp 500 Ribu, ABG Jual Diri

Demi Rp 500 Ribu, ABG Jual Diri


SURABAYA (Surabaya Pagi) – Upaya Walikota Surabaya Tri Rismaharini terjun langsung ke sekolah-sekolah guna mengantisipasi trafficking, terbukti tak manjur. Nyatanya, prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur terus terjadi. Seperti dilakoni Lisa (nama disamarkan). Gadis belia berusia 15 tahun ini rela terjun ke bisnis prostitusi, lantaran terdesak ekonomi. 

Kasus trafficking ini terungkap setelah Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya menangkap Dewi (21), warga Pakis Surabaya, yang bertindak sebagai germo/mucikari. Dewi diamankan saat menjual Lisa ke proa hidung belang di Hotel Malibu, Jl Ngagel, Surabaya, kemarin.

Lisa mengaku dirinya terpaksa bersedia melayani om-om karena butuh uang Rp 500 ribu. Karena itulah, Lisa meminta temannya Dewi (21), untuk mencarikan pelanggan. Dewi menyanggupi, padahal Dewi mengetahui jika Lisa masih di bawah umur. "Saya tahu dia masih di bawah umur, tapi dia sendiri yang minta untuk dicarikan pelanggan, alasannya karena butuh uang," ujar Dewi di sela-sela pemeriksaan di Polrestabes Surabaya, Minggu (29/9).

Dewi mengaku baru mengenal Lisa dua minggu lalu, ketika bertemu di sentra pedagang kaki lima (PKL) depan Jatim Expo. "Saya baru kenal dia, karena dia pacar teman saya," ucap Dewi.

Akhirnya Dewi mendapat pelanggan yang diminta Lisa. Keduanya sepakat harga Rp 800 ribu, dengan rincian Lisa Rp 500 ribu, sedangkan Dewi Rp 300 ribu. Keduanya lalu ke Hotel Malibu Surabaya, untuk menemui pria hidung belang, yang ternyata merupakan bekas pelanggan Dewi. Kini gadis yang dikenal dengan sebutan Mami Dewi ini meringkuk di tahanan Polrestabes Surabaya, setelah polisi berhasil menangkapnya.

Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes AKP Suratmi mengatakan, berdasarkan pemeriksaan ternyata kedua gadis itu sudah sejak lama terjun di dunia prostitusi. "Sebelumnya korban pernah diacarakan oleh mucikari lain, yang kini masih kami tetapkan DPO (daftar pencarian orang)," jelas Suratmi.

Suratmi menjelaskan, korban sebelumnya hendak melamar kerja di tempat karaoke di kawasan Rungkut. Namun oleh tersangka tidak diperbolehkan, karena usianya yang masih anak-anak. "Namun justru korban masuk dalam dunia prostitusi," cetus Suratmi. n alq

Tak Mampu Bayar Uang Kuliah, Mahasiswi Unija Jual Diri

Tak Mampu Bayar Uang Kuliah, Mahasiswi Unija Jual Diri

Mahasiswa Universutas Wiraraja menutup pintu masuk kampusnya menolak
kapitalisasi pendidikan di Unija, Jumat (3/1/2014)

SUMENEP (lintasmaduranews) - Aksi mahasiswa Universitas Wiraraja Sumenep, Madura, Jawa Timur menuntut rektorat supaya merubah sistem perkuliahan paket ke sistem KSK, sampai pagi ini, Minggu (5/1/2014) pukul 02:00 WIB masih berlangsung. Mahasiswa pengunjuk rasa bertahan di pintu masuk yang ditutup olehnya sambil menunggu respon positif dari rektorat.
Pengunjuk rasa tetap berkomitmen pada tuntutannya karena mereka memiliki data mengenai orang tua Mahasiswa yang terpaksa berhutang untuk membayar uang kuliah anaknya. Selain itu pengunjuk rasa memiliki data mahasiswi yang menjual diri demi mencukupi  pembayaran uang kuliah.
“Orang tua mahasiswa susah payah mencari uang untuk membayar  kuliah anaknya. Ada Mahasiswa yang cuti dan berhenti karena terbeban pembayaran uang kuliah. Lebih miris lagi ada mahasiswi yang menjual diri supaya bisa bayar uang kuliah. Semua itu terjadi karena mahalnya  pembayaran uang kuliah dengan sistem paket. ” kata koordinator lapangan aksi, Wawan.
Wawan menambahkan, dirinya dan teman-temannya yang turut aksi tidak hanya sekedar omong kosong mengenai data tersebut, namun  Wawan sudah melakukan diskusi dengan orang tua mahasiswa dan juga dengan mahasiswi yang menjual diri itu.
“Saya sudah berdiskusi dengan mahasiswi itu, ia mengungkapkan terpaksa menjual diri karena keluarganya tidak mampu untuk membayar uang kuliah,” tegas Wawan.
Wawan menambahkan, aksi tersebut akan terus berlanjut sampai tuntutannya dikabulkan oleh pihak rektorat. “Selama tuntutan kami tidak diterima oleh rektorat, selama itu pala kami akan terus bertahan untuk menyuarakan aspirasi orang tua mahasiswa dan mahasiswa ,” kata wawan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun lintasmaduranews, Badan Eksekutif  Mahasiswa Universitas Wiraraja, Minggu (5/1/2014) pukul 07:00 akan melakukan unjuk rasa juga untuk memberi dukungan atas tuntutan mahasiswa yang menamakan dirinya Aliansi Mahasiswa Unija Menggugat (Amug). (sum)  

Mahasiswi Jual Diri ke Profesor Demi Uang Kuliah

Mahasiswi Jual Diri ke Profesor Demi Uang Kuliah


Seorang mahasiswi hukum yang melacurkan diri ke profesor sedang terancam hukuman maksimal satu tahun penjara.

Polisi Ann Harbor pada hari Kamis menyebutkan kasus itu terungkap ketika mahasiswi itu melaporkan seorang profesor karena main tempeleng ketika mereka berhubungan seks.

Saat memberi keterangan kepada polisi, mahasiswi itu mengaku berhubungan seks demi uang dan dia bilang punya sembilan pelanggan lain. Bayaran terbesar yang pernah dia terima adalah 500 dolar (sekitar Rp5,5 juta).

Mahasiswi itu mengaku uang dari para pelanggan selanjutnya digunakan untuk membayar biaya kuliah.

"Seharusnya dia baca buku kuliah hukum terlebih dulu sebelum melapor ke kantor polisi," kata detektif Richard Kinsey seperti dikutip AFP.

Si mahasiswi dan profesor itu bertemu pada bulan April. Profesor itu mengetahui si mahasiswi dari iklan "online" tentang seks namun mereka berbeda kampus. Profesor itu mengajar di jurusan studi kawasan timur dekat di University of Michigan.

Mereka lalu janjian di suatu hotel di Ann Arbor. Si mahasiwi mengaku mulai enggan ketika profesor itu ingin mencambuknya dengan ikat pinggang. Mahasiswi itu akhirnya benr-benar marah ketika si profesor dua kali menamparnya di wajah.

Profesor itu membayar 300 dolar dan minta kapan-kapan berkencan lagi.

Kepada polisi, mahasiswi itu mengaku pandangannya agak kabur gara-gara tamlparan tersebut namun dia tidak mengalami cacat tetap.

Profesor itu kemudian diperiksa polisi namun dia mengaku si mahasiswi melakukan hubungan itu secara sukarela bahkan mereka berpelukan setelah selesai bercinta. Profesor tersebut punya istri yang bekerja di jurusan yang sama dengannya.

Sang profesor juga mengaku ingin berselingkuh lebih jauh dengan mahasiswi itu, misalnya dengan mengajaknya jika ada urusan keluar kota. Dia mengaku memberi uang kepada mahasiswi itu dan kepada polisi dia bertanya "Saya kena masalah, ya?"

Sementara itu, si mahasiswi tersebut kemudian mengaku telah menyesal karena melapor ke polisi, apalagi dia seorang mahasiswi hukum.

Polisi tidak mengusut kasus kekerasan seks karena tidak ada cukup bukti, namun si mahasiswi disidik dengan pasal pelacuran.

Mahasiswi dan profesor itu juga mengaku bersalah atas tuduhan telah menggunakan komputer untuk melakukan kejahatan. Pihak Universitas mengemukakan sedang menyelidiki kasus itu. 

(antara.co.id)

Selasa, 09 September 2014

Belasan Siswi SMP Jual Diri, Tarif Rp200 Ribu

BIREUEN - Praktek prostitusi terselubung ternyata sudah merambah ke Aceh. Buktinya, di Bireuen sudah ada sindikat pelacuran yang menyediakan gadis-gadis muda, serta berstatus pelajar SMP.

Tarifnya pun tak terlalu mahal, cuma Rp200 ribu untuk short time, sekali main. Tak tanggung-tanggung, pelanggan datang dari kalangan kontraktor, serta oknum haji berduit. Alamak....!!!!

Berdasarkan pengembangan petugas Polres Bireuen, enam tersangka jaringan prostitusi anak di bawah umur kini harus meringkuk dalam jeruji besi. Lima diantaranya wanita diduga menjadi germo, serta seorang kakek berusia 62 tahun sebagai penikmat tubuh ABG serta mucikari.

Selain itu, belasan siswi SLTP yang menjual diri yang dianggap korban traficking, dikembalikan kepada orang tua mereka. Informasi yang diperoleh Metro Aceh (Grup JPNN), lima wanita tersangka sindikat prostitusi sekaligus penjaja cinta itu yakni, MR alias MM (36) warga Meunasah Capa, RJ (21) mahasiswi warga Meunasah Dayah, RSD (18) warga Pulo Kiton, DA (18) warga Kommes, AS (36) IRT warga Pulo Kiton. Sedangkan seorang konsumen Haji A (62) kontraktor warga Plimbang, juga ikut diamankan petugas bersama para mucikari itu.

Praktik prostitusi terselubung melibatkan belasan siswi SLTP serta wanita muda dan beberapa janda, terkuak berkat laporan masyarakat yang dilakukan pengembangan oleh petugas selama dua bulan lebih.

Awalnya, tim lapangan Reskrim Polres Bireuen yang menyaru sebagai konsumen, berpura-pura hendak menggunakan jasa mucikari itu untuk memesan cewe ABG. Setelah pesanan tiba polisi langsung menciduk RSD dan DA yang terindikasi sebagai penghubung.

Kasatreskrim Polres Bireuen, Iptu Benny Cahyadi saat menggelar ekspose di aula mapolres kemarin menuturkan, kasus traficking itu terungkap setelah adanya laporan masyarakat terkait kegiatan protitusi anak bawah umur. Lalu, petugas mengembangkan informasi tersebut hingga sindikat ini terungkap dan sejumlah tersangka berhasil dibekuk.

Menurut Benny, beberapa siswi SLTP dan SLTA yang menjadi korban traficking berasal dari Kota Bireuen, Juli, Jeunib dan Samalanga. Pihaknya telah mengantongi nama-nama ABG itu, bahkan sebagian diantaranya yang dimintai keterangan telah dikembalikan ke keluarga. Polisi juga sudah memiliki data para konsumen bisnis prostitusi terselubung.



“Hasil penyidikan sementara modus traficking ini akibat faktor ekonomi, narkoba dan demi mencari kesenangan. Selain ABG, mereka juga terindikasi ikut mengkoordinir prostitusi homo dan para janda,” ungkap Benny Cahyadi.

Seluruh tersangka, menurutnya dijerat dengan pasal 2 UU No 21 tahun 2007 tentang traficking ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.

Menyikapi kasus pertama bisnis esek-esek yang terungkap berlangsung di Bireuen ini, dia menghimbau semua orang tua agar senantiasa memberi perhatian terhadap puteri mereka, sehingga tidak terseret kasus trafficking. Menurutnya, untuk ke depan pihak kepolisian akan terus melakukan berbagai upaya preventif, guna mencegah aksi serupa dikemudian hari.

Dia menjelaskan,  setelah menyediakan cewek pesanan, aksi prostitusi ini biasanya memacu syahwat di rumah AS, konsumen wajib membayar biaya sewa kamar Rp 100 ribu. Selain itu, juga di Hotel BJ sebagai lokasi yang selama ini dianggap aman untuk mencumbui para ABG. Ironisnya sebut Benny, tersangka Haji A selalu mengoleksi foto tubuh seluruh wanita muda yang disetubuhinya.

Sementara Haji A kepada wartawan mengaku, berkat bantuan para germo itu dirinya sudah sering menggunakan jasa mucikari ini, dengan membayar uang Rp 250 ribu hingga 300 ribu. Bahkan dari lima wanita yang digelandang, empat diantaranya pernah berhubungan intim dengan dirinya. (bah)

Demi Blackberry ABG Jual Diri 200 Ribu

WartaNews, Jakarta - Bila biasanya pelaku penjual gadis mencari mangsa di kampung, kini germo ini sudah merambah ke kota.

Jika di desa karena hidup susah lantaran ekonomi , maka dijakarta sebaliknya. Gaya hidup glamor kota metropolitan Jakarta membuat banyak anak baru gede (ABG) silau.

Berbagai barang yang dianggap menaikkan gengsi, mulai dari BlackBerry, iPad hingga nongkrong di tempat makan mahal, menjadi idaman. Padahal, kocek tak pernah tebal karena uang saku dari orangtua tak pernah banyak.

Melihat celah itu, penjahat asusila mulai beraksi. Tak tanggung-tanggung, mereka bergerilya mencari cewek ABG dengang menebar pesona rupia.

Memanfaatkan keluguan bocah-bocah ingusan itu, wanita germo macam Nunung tak sulit memperdaya mereka. Kepolosan dara belia ditukarnya dengan beberapa lembar uang ratusan rupiah pada pria hidung belang.

Aksi wanita 56 tahun itu dibantu Cepot, 48, yang bertindak sebagai mucikari. Tak cuma menjemput bola mencari ABG, Nunung juga meyediakan kamar di rumahnya di Jl. Siaga Swadaya, Pejaten Barat, Pasarminggu, Jaksel, sebagai tempat kencan.

Di rumah itulah, Di dikencani Heru, notaris 60 tahun. Kisah mesum ini diawali celoteh remaja 14 tahun pada teman tentang mimpinya memiliki BlackBerry. Cepot yang dikenal pandai bergaul di Pasarminggu mendengarnya. Tak buang waktu, ia langsung mendekati gadis belia itu menjajikan banyak uang dengan syarat mau menerima kencan seorang pria.

Bujuk rayu Cepot membuat Di tergiur. Maka, pada 22 Oktober, gadis bau kencur ini dikencani pria yang pantas jadi kakeknya di kamar rumah ibu dua anak itu. Tiga lembar uang Rp100.000 pun diserahkan. Hanya saja, satu di antaranya masuk ke saku pemilik rumah.

Belakangan, Di menyadari upah yang diterima jauh dari harapannya. Remaja ini menjadi pelamun. “Hingga orangtua Di membaca SMS di HP-nya yang menyebut kalau dirinya sudah melakukan perbuatan terlarang hingga benar-benar menyesal. Orang tua korban kemudian melaporkan kasus ini ke polisi,” kata Budi Irawan.

Petugas yang mendapat laporan langsung menyelidiki kasus ini dan menangkap tiga pelaku penjualan anak di bawah umur sekaligus membongkar prostitusi terselubung. Menurut Budi, selain Ds, ada gadis ABG berinisial In yang juga diperlakukan sama.

Diduga, Nunung sudah cukup lama menjalankan prostitusi terselubung di rumahnya.

“Kami masih terus mengembangkan kasus ini, termasuk mencari tahu berapa gadis ABG yang sudah dijual kepada om-om,” tandas Budi.

Setelah dimintai keterangan di kantor polisi, tersangka Heru dijerat Pasal UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Sedang untuk tersangka Nunung dikenakan pasal 88 UU Perlindungan Anak, dengan ancaman 10 tahun penjara.

Tersangka Cepot dijerat pasal 55 KUHP.
Menurut Budi, selain Di, masih ada dara berinisial In yang juga diperlakukan sama. Nunung diketahui sudah setahun menjalankan praktek prostitusi terselubung di rumahnya.

“Kami masih terus mengembangkan kasus ini, termasuk mencari tahu berapa banyak gadis ABG yang sudah dijual kepada om-om,” kata AKBP Budi.

Setelah dimintai keterangan di kantor polisi, tersangka Heru dijerat Pasal UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Sedang tersangka Nunung dikenakan pasal 88 UU Perlindungan Anak, dengan ancaman 10 tahun penjara. Tersangka Cepot dijerat pasal 55 KUHP.

Dijumpai di Polres Jakarta Selatan, Nunung, hanya bisa pasrah ditahan polisi. Selama menghuni sel prodeo, ia ditemani cucunya bernama Nadia, yang berusia 2 tahun. Bocah ini menangis saat neneknya dibawa ke ruang pemeriksaan.
Nunung mengaku tidak menjual Di maupun In di tempat tinggalnya.

“Mereka yang mau sendiri karena butuh uang untuk beli BlackBerry dan barang malah lain. Saya hanya mencari pria yang mau kencan dengan gadis-gadis itu,” ujarnya.

Sebelumnya, aksi tercela yang dilakukan para ABG dalam mencari duit dengan cara menjual tubuhnya juga pernah diungkap petugas Polres Jakarta Pusat beberapa waktu lalu di Apartemen Puri Kemayoran.

Petugas menciduk pengusaha berinisial As alias Al, 62, dan Te alias Ad, 20, germo yang menyalurkan ABG itu.

Kepada polisi As mengaku telah menyetubuhi tujuh ABG dengan bayaran Rp350 ribu sekali kencan. Uang tersebut kemudian dipotong Te sebesar Rp200 ribu. Kasus ini terbongkar setelah orang tua curiga anak-anak mereka memiliki BlackBerry dan kosmetik mahal. (*/js)

Demi Tuntutan Gaya Hidup, Eks Mahasiswiku Itupun Jual Diri

Entah setan apalagi yang mempengaruhi alam bawah sadar eks mahasiswiku. Seingat saya, ia termasuk mahasiswi yang lumayan berparas cantik, cukup cerdas dan sopan. Saya akui penampilannya saat jadi mahasiswiku terbilang wah. Handphone dan jenis pakaian serta dandanannya lumayan fashionable.

Sudah menjadi rahasia umumlah, kelas-kelas sosial dan teknik berpakaian anak kuliahan mulai dari ala kadarnya sampai yang top fashion. Belum ada juga riset perilaku tentang hubungan tingkat ekonomi dan pendapatan orangtua terhadap kecenderungan berpakaian dan penggunaan gadget pada mahasiswa. Kita hanya berasumsi bahwa terdapat korelasi antara tingkat ekonomi dengan life style mereka.

Sekali ini terjadi pemandangan negatif, menyuramkan pikiran dan perasaan saya. Bagaimana mungkin seorang (eks mahasiswi) memperdagangkan tubuhnya hanya tuntutan gaya hidup seperti di kala masih menjadi mahasiswi. Apa karena kiriman uang dari orangtua tak sebesar dulu lagi?. Ataukah ingin cepat bekerja namun sulitnya menjadi pegawai negeri atau sulitnya diterima bekerja di perusahaan bonafid dan BUMN semisal perbankan dan telkom?.

Entahlah…informasi yang saya dapatkan bahwa eks mahasiswiku itu merasa kehilangan jati diri dan identitas saat-saat ini. Ia tak lagi self confidence dengan performance dirinya setelah menjadi seorang alumni.
Kisah ini saya awali saat bertemu dia di sebuah rumah makan di bilangan Jalan Irian-Kota Makassar. Saya tak menyangka juga pada pukul 03.00-an, dia berada di tempat itu, Sebetulnya hal ini wajar sebab rumah makan yang kerap warga Makassar menyebut MIe-Titi terbuka 24 jam.

Namun yang mengherankan buat saya, mengapa eks mahasiswi itu “berada” di pusat kota itu dini hari dengan pakaian yang sudah mirip penjaja seks. Ada apa dengannya?. Apakah telah terjadi revolusi perilaku pada dirinya?. Mengapa justru telah menjadi alumni, ia tidak lebih baik? Ini teropongan dari luar saya. Pandangan kasat mata saya.

Apakah dengan keterjepitan ekonomi ataukah kesempitan hidup yang mungkin saja telah terbiasa berperilaku “wah” saat mahasiswi membuat ia harus pertahankan gaya hidup itu dengan taruhan kelewat mahal yakni menjajakkan diri walau sifatnya freelance?.

Saya sayangkan sekali sebab ia telah ditempa selama kuliah untuk giat berpikir universe dan logis. Logiskah mengorbankan diri hanya gara-gara mempertahanakan gaya hidup yang sebetulnya bukanlah hal esensial?.  Ah, pikiran saya ngaco malam itu.

Malam yang cukup dingin saat itu, tak sedikitpun alasanku untuk menyalahkannya, saya hanya bertanya-tanya gejala apa yang terjadi pada dirinya. Saat itupun saya terdorong untuk menghampirinya sebab sedari tadi juga ia sekali-sekali mengarahkan pandangannya kepadaku. Ia masih sendiri di mejanya, saya berdiri dan beranjak dan menghampirinya. Dengan penuh keraguan ia memberi senyuman.
Kami ngobrol seadanya dan ternyata dia dari tadi pengen tinggalkan tempat ini hanya saja risih karena harus melewati meja saya. Begitu pengakuan jujurnya kepadaku.
* * *
Karena arlojiku sudah menunjukkan pukul 04.00, sayapun hendak pulang. Saya bayar kasir rumah makan itu sekalian bayarkan dia. Ia ternyata mengikutiku. Saya sadar ia di belakangku. Saya tanya dia mau ke mana?. Bukannya dia menjawab pertanyaanku tetapi dengan malu dan sangat berat -tentunya juga segan- ia minta uang ongkos taxi pulang.

Saya tentu kaget sebab hal ini tak mungkin ia lakukan untuk meminta ongkos taksi. Tanyaku dalam hati, apakah ia benar-benar tak punya uang? Ataukah ini hanya trik untuk suatu maksud dan tujuan.
Ini membuatku benar-benar penasaran akan tanyaku dalam hati dan mengerutkan dahiku berpikir. Ah, kenapa saya tidak tawarkan saja untuk mengantarkan pulang ke rumahnya. Rupanya ia tak menolak untuk kuantar.

Dalam perjalanan, kami sama-sama segan bertanya satu sama lain. Satu-satunya pertanyaan yang saya ajukan adalah apa sudah kerja?. Inilah pertanyaan yang sukses membuka obrolan kami berdua di atas mobil.
Terungkap sudah saat ia menyampaikannya dengan nada suara terbata-bata. Pengakuannya sudah tak gadis lagi, ia pernah pacaran dengan seorang cowok yang berkantong lumayan. Cowok itulah yang menjadi tumpuan dalam mempertahankan gaya hidup “wah”nya selama dalam masa pengangguran.
Ia mengakui tak ingin dikatakan “mundur” dalam dunia pergaulan masa kini, dunia hiruk pikuknya IT dan beragamnya produk-produk gadget. Ia tak rela memiliki hanya satu handphone, ia sudah terbiasa gonta-ganti handphone dan juga membeli baju-baju bermerek.

Tuturannya memperlihatkan bahwa ia pacaran dengan cowok itu dengan maksud dapat mensuplai lembaran rupiah akan kebutuhan gaya hidupnya. Sayangnya, sang cowok memutuskannya sebab sang cowok telah merasa kalau eks mahasiswiku ini menguras isi dompetnya.

Tak perlulah saya melanjutkan kisah ini sebab ujung-ujungnya adalah eks mahasiswiku ini telah menjual dirinya demi sebuah gengsi pergaulan, gengsi gaya hidup. Itulah simpulan akhirku dari penuturannya.

Pesan perilaku: “Jika dunia telah diguncang peradaban dengan kecanggihannya. Pertanyaannya, berapa banyak manusia yang belum siap menghadapinya”

Demikianlah tulisan sederhanaku malam ini.. Semoga bermanfaat.. Selamat Malam.

Inilah Strategi dan Alasan ABG Mencari Pria Hidung Belang dan Om-om

Inilah Strategi dan Alasan ABG Mencari Pria Hidung Belang dan Om-om


tiraimaya.com - Ingin menguak fenomena cewe yang maruk harta!Heeee.. Maksudnya maruk harta ialah Para ABG yang Matre yang hanya memanfaatkan uang para lelaki mapan. Nah, dari situ saya akan membuka kenapa sich cewe itu lebih suka mencari pria hidung belang dan terutama Om Om...Heeee.. Kira-kira kenapa ya? nah inilah dia penjelaannya secara blak-blakan.

Menjadi cewek metropolis ataupun cewek gaul yang glamor dan tak ketinggalan mode, hanya bisa terwujud bila memiliki uang dan uang. Untuk meraih impian itu, sejumlah anak baru gede (ABG) yang ekonomi orangtuanya lemah, menempuh berbagai cara. Sebagian di antara cewek usia belasan tahun ini mencari uang dengan jalan menjual diri alias menjadi ******* amatiran .wkakakkakakakkaa,,

"Uang dari orangtua mana cukup buat beli baju gaul, HP model terbaru? Bisa ketinggalan kita," kata Ratna,17, (bukan nama sebenarnya), cewek ABG kormod alias korban mode.

Upaya memenuhi keinginannya itu, Ratna rela jadi ******* amatir. Pusat perbelanjaan dijadikan sebagai ajang bergaul sekaligus meraup rupiah dari lelaki iseng pencari kenikmatan sesaat. Mejeng di mal sambil mencari mangsa.

Terhadap ABG kelompok ini, pria iseng cukup bermodal Rp100 ribu, bisa kencan sambil menjamah tubuh, meskipun hanya sebatas close up alias setengah badan.

Sepak-terjang ABG yang menjajakan diri ini bisa ditemui di sejumlah pusat perbelanjaan di ibukota. Ironisnya, mereka rata-rata berstatus pelajar, ada juga mahasiswi.

Alasan mereka kepada orangtua, pergi belajar kelompok atau mengikuti kegiatan sekolah agar bisa bebas keluar rumah. ABG bangor beroperasi di mal tak cuma malam hari, tapi banyak pula dijumpai nongkrong siang bolong menjajakan diri.

Mereka ada yang dijuluki cewek parkir lantaran mangkalnya di tempat parkir, ada pula mangkal di pusat jajan makananan (food court), ada juga yang mencari sasaran di depan gedung bioskop. Pekcun alias ***** culun, begitulah julukan yang sering dilontarkan publik terhadap mereka.

Lebih Agresif

Dari pantauan sebuah koran Jakarta, di mal pada kawasan Kalibata misalnya, ada sekitar 30 cewek ABG mencari mangsa tersebar di ruang tunggu bioskop, food court dan tempat parkir. Pemandangan serupa dapat dipantau pada pusat perdagangan dan perbelanjaan di kawasan Senen serta pusat perdagangan dan perbelanjaan di kawasan Rawamangun.

Gaya mereka menyerupai gadis lainnya yang datang ke mal untuk belanja. Inilah yang kerap membuat jengah gadis baik-baik karena kena imbas dikira cewek mal cari mangsa.

Mengenakan celana jins model pensil, kaos lengan pendek, blus model baby dol yang sedang ngetren, penampilan mereka sama sekali jauh dari kesan sebagai *******.

Namun bila diperhatikan, ada hal yang membedakan antara ABG ******* dengan ABG baik-baik. ABG ******* tampil centil, genit, agresif, berani menggoda lelaki meski belum dikenal dan bersikap sangat ramah.

Sasaran mereka, selain pria yang biasa dijuluki brondong juga lelaki setengah baya alias om-om parlente dan tajir alias berkantong tebal.

"Nih brondong keren euy. Tapi keren-keren gitu namanya Parto lho, atau Gino kali ya?" celetuk satu cewek ABG di depan bioskop yang disambut tawa cekikikan dua teman lainnya.

Bagi pria yang masuk perangkap, kencan pun dimulai. Obrolan mereka nyambung dan langsung akrab.

Sama halnya di food court, cara mereka menarik perhatian lelaki dengan kerlingan mata atau membuat canda berlebihan. "Meskipun cuma dibayarin makan aja, gak apa-apalah, lumayan juga," kata Ratna, yang mengaku dirinya dan bersama geng kerap mangkal di satu mal kawasan Kalibata.

Lain lagi dengan cewek parkir, tampilannya berlagak menunggu teman. Padahal mereka mejeng sambil matanya melirik-lirik ke arah lelaki yang diincar.

Layanan Close Up

Kelompok ABG ini selain mencari uang juga mencari kesenangan di mal. Target lain bisa belanja barang harga mahal dan dapat menyantap makanan enak.

Tarif mereka terbilang murah antara Rp 100 ribu hingga Rp300 ribu. Pelaku prostitusi terselubung ini memberi pelayanan dari pinggang ke atas. Istilah mereka close up.

Pelayanan colse up berlangsung singkat. Tempatnya di dalam gedung bioskop sambil nonton film. Lelaki iseng leluasan menggerayangi tubuh ABG selama pemutaran film berlangsung. Kencan bisa juga dilakukan di dalam mobil yang sedang diparkir.

Bila mau pelayanan lebih, harus tambah ongkos minimal Rp300 ribu untuk di-booking ke hotel. Harga pasaran ABG ini bisa turun asal mereka diajak shoping.

"Sebelum ngeroom (istilah untuk ngamar) kita belanja-belanja dulu," cerita Ririn, ABG lainnya.

Bagi lelaki pemburu ABG di mal, paham betul cara menggaet mereka. Tentu dengan cara mengajak belanja pakaian dulu, baru dibawa ke kamar hotel.

Mau mencari cewek parkir dimal? Mereka biasa mejeng sekitar Pk. 19:00 saat pengunjung banyak yang mulai meninggalkan mal. Operasi pekcun kelompok ini cukup rapih. Mereka tak hanya mejeng di area parkir, tapi kadang bersembunyi di tempat tertentu.

Untuk bisa menemui mereka, lebih dulu ketemu juru parkir (jukir) nyambi sebagai germo. Jukir yang nyambi ini kemudian mengontak mereka. Pekcun beroperasi di arena parkir, geliatnya lebih profesional ketimbang yang mangkal di sekitar bioskop atau di food court.

Tentu saja si tukang parkir mendapat jatah dari cewek yang dapat tamu. Setiap kali dapat tamu, si cewek memberi upah Rp20 ribu hingga Rp50 ribu.

Tak hanya tukang parkir yang kecipratan uang. Kalangan preman pun mendapat jatah uang perlindungan. "Kalau mau aman, ya kita bagi juga mereka, sekedar buat beli rokok," ucap Siska, 19, cewek parkir, sambil menyebut nilai minimal Rp20 ribu untuk jatah preman.

Preman ini bukan tanpa jasa. Kerja mereka menghubungi si pekcun bila ada razia petugas. "Tugas mereka harus cepet-cepet kasih tau kita kalau ada petugas," ungkap Lina, 17, dara yang mengaku pelajar satu SMA di Jaksel.

Dalam satu minggu, pekcun mengantongi uang antara Rp200 ribu Rp400 ribu. Mereka mengaku tak ada germo yang mengkoordinir secara khusus.

Beberapa tahun silam, aparat merazia puluhan ABG dirazia di mal kawasan Kalibata. Terbukti keberadaan mereka dikoordinir seorang cewek yang bertindak sebagai germo.

Fenomena ABG jual diri merupakan imbas dari rongrongan gaya hidup metropolis, tak seimbang dengan kemampuan ekonomi orangtua.

Butuh duit buat jajan

SISKA begitu ia biasa dipanggil. Gadis yang baru tumbuh dewasa itu mengaku menjadi 'penjudi' (penjual diri) karena ingin seperti kawan-kawannya yang hidup berkelimang kemewahan. Tapi dia sadar, kalau keinginannya untuk seperti itu tidak akan bisa karena kedua orang tuanya hidupnya serba pas-pasan.

"Jangankan untuk membeli pakaian yang harganya cukup mahal, untuk belanja sehari-hari aja kurang,"kata gadis yang mengaku masih sekolah di SLTA dibilangan Jakarta Selatan tersebut.

Dengan ketiadaannya itu, ABG (anak baru gede) yang satu ini terpaksa mejeng dan menjual diri di mal. Tujuannya hanya satu, dapat nonton dan menemani om-om yang berkantong tebal. Gadis mungil berkulit putih itu pun hampir tiga kali dalam satu minggu nongkrong di pusat perbelanjaan dibilangan Kalibata, Jakarta Selatan.

Kebutuhan hidup
Sepintas orang tidak akan menyangka kalau perempuan yang mengaku baru berumur 15 tahun itu menjual diri demi memenuhi kebutuhannya hidup yang mewah. Sebenarnya Siska malu. Apalagi jika bertemu dengan teman atau tetangga rumahnya. "Habis gimana Bang, jika nggak begini saya tidak punya duit jajan yang cukup. Uang yang dikasih orang tua tak cukup," kata Siska yang mengaku tinggal di kawasan Cempaka Putih, Jakpus.

Anak kedua dari empat bersaudara itu mengaku bapaknya hanyalah buruh pabrik di kawasan Bekasi dengan gaji yang sangat pas-pasan. Hidup serba kekurangan, sementara teman sebayanya hidup serba berkecukupan. Iri ingin seperti teman – temanya membuatnya mengambil jalan pintas.

Berbekal tubuh yang seksi, dia terpaksa terjun ke dalam bisnis "esek- esek". "Pertama-tama saya melakukannya sempat gemeter dan takut akan ketahuan orang, tapi kini sudah terbiasa, " katanya seraya menambahkan sekali kencan, dia pasang tarif antara Rp 200.000 hingga Rp 250.000.

Kesepian di rumah

Lain lagi dengan Lia. Kebiasaan nongkrong di bioskop itu karena merasa kesepian di rumah setelah kedua orang tuanya sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Hampir setiap pulang sekolah gadis itu menyempatkan diri datang ke bioskop yang berada di kawasan Atrium, Senen, Jakarta Pusat. Di tempat itu, ABG ini mengaku banyak teman bukan hanya sesama pelajar seusianya, tapi om-om yang suka mencari daun muda.

"Saya sering diajak nonton sama om-om dan brondong. Saya nggak pernah pasang tarif, berapa pun dia mengasih pasti saya terima,"ujar Lia sambil menambahkan setiap diajak nonton dirinya di kasih uang Rp 100 ribu hingga 200 ribu.

Lia mengaku setiap hari selalu membawa baju dan celana ganti. " Kalau pakai seragam sekolah dilarang satpam masuk ke mal. Saya bawa ganti untuk mengelabuhi petugas keamanan," tambah gadis yang mengaku tinggal di daerah kawasan elite Kelapa Gading, Jakut.

Lia nongkrong di mal bukan semata mencari uang, tapi yang utama kesenangan. Tak heran jika ada pria yang cocok dengannya, tanpa dikasih uang pun nggak apa-apa. Tapi kalau tidak sesuai dengan kehendak hatinya, dibayar berapa pun akan ditolaknya. "Kalau cocok, cepek ceng (Rp 100.000) bersih, kita sikat aja Mas," kata Lia sambil tertawa lepas.

Jika sudah transaksi, kencan berlanjut di hotel-hotel transit tak jauh dari lokasi. Tapi kadang-kadang Lia tak segan menolak tunge, istilah mereka untuk hubungan intim, kalau pelanggannya itu tak royal membelikan makanan dan rokok.

Susan lain lagi. 

"Berani berkenalan dan mau diajak jalan sama om-om setelah beberapa kali ditemani teman saya. Semula saya malu-malu, tapi karena duit yang saya dapat banyak akhirnya keterusan deh,"ungkap ABG yang mengaku tinggal di daerah Rawamangun, Jaktim tersebut.



Sumber

Hak Asasi Manusia di Papua


Hak Asasi Manusia di Papua

Sejak tahun 2003, Faith-based Network on West Papua (FBN) telah mendukung pemukapemuka agama di Tanah Papua dalam kampanye “Papua, tanah perdamaian2” (Papua, land of peace). Proyek tersebut bertujuan untuk menciptakan Tanah Papua yang damai dan adil, di mana masyarakat lokal hidup tanpa rasa takut dan mendapatkan kesetaraan sosial, kesejahteraan ekonomi dan jaminan hukum. Dengan kata lain, sebuah tempat di mana Hak Asasi Manusia (HAM) dijamin untuk semua orang terlepas dari latar belakang etnis
dan agama mereka.

Kamis, 04 September 2014

Rabu, 10 September 2014

Awas, Penikmat 'Ayam Kampus' Banyak Tertular HIV/AIDS



Awas, Penikmat 'Ayam Kampus' Banyak Tertular HIV/AIDS Ilustrasi (Foto: Dok. Okezone) DEPOK - Kenikmatan sesaat atau surga dunia mungkin bisa diperoleh oleh para pria hidung belang penikmat 'ayam kampus'. Mereka yang rela menghambur-hamburkan uangnya demi memuaskan nafsu syahwat mungkin lupa dengan bahaya dan dosa yang mengancam baik secara agama maupun kesehatan fisik.

Ancaman penyakit menular seksual hingga HIV/AIDS tentu tak lepas dari kehidupan para 'gadun', begitulah istilah bagi 'om-om' berduit. Jangankan pengguna 'ayam kampus', sang penjaja seks atau si 'ayam kampus' sendiri sebetulnya mengaku takut tertular.

"Sebenarnya saya khawatir sudah tertular HIV karena sudah berapa banyak pria yang berhubungan dengan saya, ada yang pakai kondom ada juga yang enggak mau, banyak LSM HIV/AIDS yang melakukan konseling dan meminta saya untuk ikut tes VCT, tapi saya masih belum berani," kata Mawar (24), bukan nama sebenarnya, 'ayam kampus' salah satu perguruan tinggi swasta di Depok.

Pegiat HIV/AIDS di Depok Deny Eka Saputra menuturkan, dari data yang ia miliki, selain karena narkoba suntik, paling banyak Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah karena seringkali 'jajan' atau bergonta - ganti pasangan. Ia menambahkan, justru penikmat 'ayam kampus' lebih banyak tertular ketimbang si 'ayam kampus' itu sendiri.

"30 persen lelaki pengguna 'ayam kampus' atau si gadunnya lebih banyak yang tertular. Pengguna lebih banyak. Yang lainnya penerima Wanita Pekerja Seks (WPS) atau juga waria, ada lho waria di Depok yang punya suami," ungkapnya kepada Okezone.

Deny menambahkan setiap pasien atau calon pasiennya didorong untuk mau menguji tes VCT dan tes darah. Namun kebanyakan dari mereka tidak berani melakukannya.
"Apalagi waria, kalau sudah ngomong kan bawel suaranya juga besar, ngamuk - ngamuk marah-marah pernah karena ternyata terjangkit HIV, katanya dokternya salah," tuturnya.

Deny menambahkan banyaknya 'ayam kampus' yang terkena HIV/AIDS lebih sulit untuk diketahui. Karena mereka cenderung tertutup dan identitasnya tidak terlihat atau berbeda dari mahasiswi kebanyakan.

"Kita harus antar jemput pasti. Kita duluan yang jemput bola. Mereka pasti tertutup. Sulitnya lagi mereka kerja malam. Karena itu selain terjun ke bawah, kami juga menjaringnya lewat sosial media, kebanyakan dari mereka uangnya memang untuk senang-senang," tandasnya.
(sus)
Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda.

Praktek Cabe-cabean Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial

Praktek Cabe-cabean Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial



Praktek Cabe-cabean Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial Ilustrasi (Dok Okezone) DEPOK - Kemerosotan moral para remaja ditandai dengan munculnya fenomena cabe-cabean. Istilah berkonotasi negatif tersebut menjadi slogan para remaja putri yang menjadi hadiah ataupun piala bergilir dalam sebuah komunitas, seperti gerombolan remaja pria bermotor.
 
Jika ditelaah dari segi Bahasa Indonesia, cabai atau cabe adalah sesuatu yang dianalogikan dengan bentuk yang kecil. Hal itu dikatakan Pengamat Budaya Modern Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Ibnu Wahyudin.
 
"Cabe itu kan sesuatu yang kecil berarti menandai bahwa julukan itu diberikan kepada perempuan yang masih belasan tahun atau remaja, mereka kan masih mudah sekali tergiur dengan hal - hal yang sifatnya hedonis, duniawi, salah satunya anak motor," katanya di Kampus UI, Depok, Rabu (12/03/2014).
 
Cabe-cabean, kata Ibnu, tidak pernah memikirkan risiko dari perbuatannya karena masih proses pencarian identitas. Intinya bagi mereka sesuatu yang hura-hura, eksis, semuanya dilakukan tak ada pertimbangan.
 
"Dan cabe – cabean identik dengan pakai celana super pendek dan ketat atau hot pants, karena kalau pakai rok susah naik motornya," jelasnya.
 
Praktek atau gaya hidup cabe - cabean, menurutnya sebetulnya sudah ada embrionya sejak zaman penjajahan Belanda di tahun 1800an. Saat itu ada istilah 'Nyai' yang juga berkonotasi negatif sebagai perempuan 'simpanan' tuan Belanda. Bahkan Nyai pada saat itu juga tidak segan untuk mengejar tuan Belanda yang bukan pribumi untuk menaikan status sosial.
 
"Dari dulu ada, seperti cabe-cabean,  sudah ada sejak 1800-an, dulu ada cerita Nyai Ratna yang ditulis Raden Mas Tirto Ardisuryo, perintis pers Indonesia. Perilakunya yang mirip. Nyai zaman Hindia Belanda juga masih muda, 18 tahunan. Ketemu cowok yang ganteng, Stovia, dikejar pakai bendinya hanya untuk ngajak bercinta. Jadi stereotipe perempuan Indonesia dulu malu - malu, namun ada juga yang seperti Nyai," ungkapnya.
 
Namun memang ukuran moralitas dari zaman ke zaman berbeda, didukung dengan adanya kesadaran beragama, rambu sosial dan norma - norma. Nyai, kata Ibnu, dulu motifnya bermacam - macam, dari mulai alasan ekonomi hingga cinta.
 
"Orangtua kan saat itu ingin status sosialnya meningkat, pribumi lebih kalah. Setelah Nyai terlepas dari satu tuan, lalu tuan lain lagi. Tinggal bersama tetapi enggak menikah, wanita simpanan," katanya.
 
Lalu sejak zaman kemerdekaan pun Pasar Senen di Jakarta Pusat juga terkenal sebagai tempat untuk mencari kebutuhan biologis atau kesenangan seksual. Belum lagi saat Dolly di Surabaya, Jawa Timur, masih tumbuh subur.
 
"Artinya kebutuhan mencari kenikmatan seksual bisa berbagai cara, sesuatu yang formal. Namun kini cabe – cabean kecenderungannya mereka punya kehidupan demi syahwat yang tak diikat norma, kedewasaan sudah berbeda. Usia belasan sekarang lagi cari identitas. Ukurannya bukan uang tetapi masalah keren atau enggak keren, makanya mereka ikut komunitas itu," tegasnya.
 
Istilah cabe-cabean makin populer sejak tiga tahunan terakhir menyusul dengan lahirnya bahasa alay. Kecanggihan teknologi juga memicu timbulnya bahasa alay. "Dari mulai unyu - unyu, lalu 'otw' kemudian 'gw', sosial media, ponsel, dan asal mula SMS itu memancing berbagai bahasa, memicu memberi lahan berkreasi dengan bahasa disingkat - singkat," papar Ibnu.
 
Sebelumnya, lanjutnya, istilah jablay juga sempat populer. Namun jablay kelasnya lebih individual, berbeda ketimbang cabe-cabean yang memang lebih bergabung pada komunitas.
 
"Kalau jablay individual, lalu istilah bagi wanita yang sering ditinggalkan pasangannya. Pulang malu enggak pulang rindu. Antara satu orang ke orang lain. Kalau cabe-cabean lebih kepada lifestyle, dan sebagai hadiah ketika grupnya dikalahkan, yang penting eksisnya, bukan soal bayar enggak bayar," tandasnya.
(ful)

Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda.

Demi Rp 500 Ribu, ABG Jual Diri

Demi Rp 500 Ribu, ABG Jual Diri


SURABAYA (Surabaya Pagi) – Upaya Walikota Surabaya Tri Rismaharini terjun langsung ke sekolah-sekolah guna mengantisipasi trafficking, terbukti tak manjur. Nyatanya, prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur terus terjadi. Seperti dilakoni Lisa (nama disamarkan). Gadis belia berusia 15 tahun ini rela terjun ke bisnis prostitusi, lantaran terdesak ekonomi. 

Kasus trafficking ini terungkap setelah Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya menangkap Dewi (21), warga Pakis Surabaya, yang bertindak sebagai germo/mucikari. Dewi diamankan saat menjual Lisa ke proa hidung belang di Hotel Malibu, Jl Ngagel, Surabaya, kemarin.

Lisa mengaku dirinya terpaksa bersedia melayani om-om karena butuh uang Rp 500 ribu. Karena itulah, Lisa meminta temannya Dewi (21), untuk mencarikan pelanggan. Dewi menyanggupi, padahal Dewi mengetahui jika Lisa masih di bawah umur. "Saya tahu dia masih di bawah umur, tapi dia sendiri yang minta untuk dicarikan pelanggan, alasannya karena butuh uang," ujar Dewi di sela-sela pemeriksaan di Polrestabes Surabaya, Minggu (29/9).

Dewi mengaku baru mengenal Lisa dua minggu lalu, ketika bertemu di sentra pedagang kaki lima (PKL) depan Jatim Expo. "Saya baru kenal dia, karena dia pacar teman saya," ucap Dewi.

Akhirnya Dewi mendapat pelanggan yang diminta Lisa. Keduanya sepakat harga Rp 800 ribu, dengan rincian Lisa Rp 500 ribu, sedangkan Dewi Rp 300 ribu. Keduanya lalu ke Hotel Malibu Surabaya, untuk menemui pria hidung belang, yang ternyata merupakan bekas pelanggan Dewi. Kini gadis yang dikenal dengan sebutan Mami Dewi ini meringkuk di tahanan Polrestabes Surabaya, setelah polisi berhasil menangkapnya.

Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes AKP Suratmi mengatakan, berdasarkan pemeriksaan ternyata kedua gadis itu sudah sejak lama terjun di dunia prostitusi. "Sebelumnya korban pernah diacarakan oleh mucikari lain, yang kini masih kami tetapkan DPO (daftar pencarian orang)," jelas Suratmi.

Suratmi menjelaskan, korban sebelumnya hendak melamar kerja di tempat karaoke di kawasan Rungkut. Namun oleh tersangka tidak diperbolehkan, karena usianya yang masih anak-anak. "Namun justru korban masuk dalam dunia prostitusi," cetus Suratmi. n alq

Tak Mampu Bayar Uang Kuliah, Mahasiswi Unija Jual Diri

Tak Mampu Bayar Uang Kuliah, Mahasiswi Unija Jual Diri

Mahasiswa Universutas Wiraraja menutup pintu masuk kampusnya menolak
kapitalisasi pendidikan di Unija, Jumat (3/1/2014)

SUMENEP (lintasmaduranews) - Aksi mahasiswa Universitas Wiraraja Sumenep, Madura, Jawa Timur menuntut rektorat supaya merubah sistem perkuliahan paket ke sistem KSK, sampai pagi ini, Minggu (5/1/2014) pukul 02:00 WIB masih berlangsung. Mahasiswa pengunjuk rasa bertahan di pintu masuk yang ditutup olehnya sambil menunggu respon positif dari rektorat.
Pengunjuk rasa tetap berkomitmen pada tuntutannya karena mereka memiliki data mengenai orang tua Mahasiswa yang terpaksa berhutang untuk membayar uang kuliah anaknya. Selain itu pengunjuk rasa memiliki data mahasiswi yang menjual diri demi mencukupi  pembayaran uang kuliah.
“Orang tua mahasiswa susah payah mencari uang untuk membayar  kuliah anaknya. Ada Mahasiswa yang cuti dan berhenti karena terbeban pembayaran uang kuliah. Lebih miris lagi ada mahasiswi yang menjual diri supaya bisa bayar uang kuliah. Semua itu terjadi karena mahalnya  pembayaran uang kuliah dengan sistem paket. ” kata koordinator lapangan aksi, Wawan.
Wawan menambahkan, dirinya dan teman-temannya yang turut aksi tidak hanya sekedar omong kosong mengenai data tersebut, namun  Wawan sudah melakukan diskusi dengan orang tua mahasiswa dan juga dengan mahasiswi yang menjual diri itu.
“Saya sudah berdiskusi dengan mahasiswi itu, ia mengungkapkan terpaksa menjual diri karena keluarganya tidak mampu untuk membayar uang kuliah,” tegas Wawan.
Wawan menambahkan, aksi tersebut akan terus berlanjut sampai tuntutannya dikabulkan oleh pihak rektorat. “Selama tuntutan kami tidak diterima oleh rektorat, selama itu pala kami akan terus bertahan untuk menyuarakan aspirasi orang tua mahasiswa dan mahasiswa ,” kata wawan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun lintasmaduranews, Badan Eksekutif  Mahasiswa Universitas Wiraraja, Minggu (5/1/2014) pukul 07:00 akan melakukan unjuk rasa juga untuk memberi dukungan atas tuntutan mahasiswa yang menamakan dirinya Aliansi Mahasiswa Unija Menggugat (Amug). (sum)  

Mahasiswi Jual Diri ke Profesor Demi Uang Kuliah

Mahasiswi Jual Diri ke Profesor Demi Uang Kuliah


Seorang mahasiswi hukum yang melacurkan diri ke profesor sedang terancam hukuman maksimal satu tahun penjara.

Polisi Ann Harbor pada hari Kamis menyebutkan kasus itu terungkap ketika mahasiswi itu melaporkan seorang profesor karena main tempeleng ketika mereka berhubungan seks.

Saat memberi keterangan kepada polisi, mahasiswi itu mengaku berhubungan seks demi uang dan dia bilang punya sembilan pelanggan lain. Bayaran terbesar yang pernah dia terima adalah 500 dolar (sekitar Rp5,5 juta).

Mahasiswi itu mengaku uang dari para pelanggan selanjutnya digunakan untuk membayar biaya kuliah.

"Seharusnya dia baca buku kuliah hukum terlebih dulu sebelum melapor ke kantor polisi," kata detektif Richard Kinsey seperti dikutip AFP.

Si mahasiswi dan profesor itu bertemu pada bulan April. Profesor itu mengetahui si mahasiswi dari iklan "online" tentang seks namun mereka berbeda kampus. Profesor itu mengajar di jurusan studi kawasan timur dekat di University of Michigan.

Mereka lalu janjian di suatu hotel di Ann Arbor. Si mahasiwi mengaku mulai enggan ketika profesor itu ingin mencambuknya dengan ikat pinggang. Mahasiswi itu akhirnya benr-benar marah ketika si profesor dua kali menamparnya di wajah.

Profesor itu membayar 300 dolar dan minta kapan-kapan berkencan lagi.

Kepada polisi, mahasiswi itu mengaku pandangannya agak kabur gara-gara tamlparan tersebut namun dia tidak mengalami cacat tetap.

Profesor itu kemudian diperiksa polisi namun dia mengaku si mahasiswi melakukan hubungan itu secara sukarela bahkan mereka berpelukan setelah selesai bercinta. Profesor tersebut punya istri yang bekerja di jurusan yang sama dengannya.

Sang profesor juga mengaku ingin berselingkuh lebih jauh dengan mahasiswi itu, misalnya dengan mengajaknya jika ada urusan keluar kota. Dia mengaku memberi uang kepada mahasiswi itu dan kepada polisi dia bertanya "Saya kena masalah, ya?"

Sementara itu, si mahasiswi tersebut kemudian mengaku telah menyesal karena melapor ke polisi, apalagi dia seorang mahasiswi hukum.

Polisi tidak mengusut kasus kekerasan seks karena tidak ada cukup bukti, namun si mahasiswi disidik dengan pasal pelacuran.

Mahasiswi dan profesor itu juga mengaku bersalah atas tuduhan telah menggunakan komputer untuk melakukan kejahatan. Pihak Universitas mengemukakan sedang menyelidiki kasus itu. 

(antara.co.id)

Selasa, 09 September 2014

Belasan Siswi SMP Jual Diri, Tarif Rp200 Ribu

BIREUEN - Praktek prostitusi terselubung ternyata sudah merambah ke Aceh. Buktinya, di Bireuen sudah ada sindikat pelacuran yang menyediakan gadis-gadis muda, serta berstatus pelajar SMP.

Tarifnya pun tak terlalu mahal, cuma Rp200 ribu untuk short time, sekali main. Tak tanggung-tanggung, pelanggan datang dari kalangan kontraktor, serta oknum haji berduit. Alamak....!!!!

Berdasarkan pengembangan petugas Polres Bireuen, enam tersangka jaringan prostitusi anak di bawah umur kini harus meringkuk dalam jeruji besi. Lima diantaranya wanita diduga menjadi germo, serta seorang kakek berusia 62 tahun sebagai penikmat tubuh ABG serta mucikari.

Selain itu, belasan siswi SLTP yang menjual diri yang dianggap korban traficking, dikembalikan kepada orang tua mereka. Informasi yang diperoleh Metro Aceh (Grup JPNN), lima wanita tersangka sindikat prostitusi sekaligus penjaja cinta itu yakni, MR alias MM (36) warga Meunasah Capa, RJ (21) mahasiswi warga Meunasah Dayah, RSD (18) warga Pulo Kiton, DA (18) warga Kommes, AS (36) IRT warga Pulo Kiton. Sedangkan seorang konsumen Haji A (62) kontraktor warga Plimbang, juga ikut diamankan petugas bersama para mucikari itu.

Praktik prostitusi terselubung melibatkan belasan siswi SLTP serta wanita muda dan beberapa janda, terkuak berkat laporan masyarakat yang dilakukan pengembangan oleh petugas selama dua bulan lebih.

Awalnya, tim lapangan Reskrim Polres Bireuen yang menyaru sebagai konsumen, berpura-pura hendak menggunakan jasa mucikari itu untuk memesan cewe ABG. Setelah pesanan tiba polisi langsung menciduk RSD dan DA yang terindikasi sebagai penghubung.

Kasatreskrim Polres Bireuen, Iptu Benny Cahyadi saat menggelar ekspose di aula mapolres kemarin menuturkan, kasus traficking itu terungkap setelah adanya laporan masyarakat terkait kegiatan protitusi anak bawah umur. Lalu, petugas mengembangkan informasi tersebut hingga sindikat ini terungkap dan sejumlah tersangka berhasil dibekuk.

Menurut Benny, beberapa siswi SLTP dan SLTA yang menjadi korban traficking berasal dari Kota Bireuen, Juli, Jeunib dan Samalanga. Pihaknya telah mengantongi nama-nama ABG itu, bahkan sebagian diantaranya yang dimintai keterangan telah dikembalikan ke keluarga. Polisi juga sudah memiliki data para konsumen bisnis prostitusi terselubung.



“Hasil penyidikan sementara modus traficking ini akibat faktor ekonomi, narkoba dan demi mencari kesenangan. Selain ABG, mereka juga terindikasi ikut mengkoordinir prostitusi homo dan para janda,” ungkap Benny Cahyadi.

Seluruh tersangka, menurutnya dijerat dengan pasal 2 UU No 21 tahun 2007 tentang traficking ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.

Menyikapi kasus pertama bisnis esek-esek yang terungkap berlangsung di Bireuen ini, dia menghimbau semua orang tua agar senantiasa memberi perhatian terhadap puteri mereka, sehingga tidak terseret kasus trafficking. Menurutnya, untuk ke depan pihak kepolisian akan terus melakukan berbagai upaya preventif, guna mencegah aksi serupa dikemudian hari.

Dia menjelaskan,  setelah menyediakan cewek pesanan, aksi prostitusi ini biasanya memacu syahwat di rumah AS, konsumen wajib membayar biaya sewa kamar Rp 100 ribu. Selain itu, juga di Hotel BJ sebagai lokasi yang selama ini dianggap aman untuk mencumbui para ABG. Ironisnya sebut Benny, tersangka Haji A selalu mengoleksi foto tubuh seluruh wanita muda yang disetubuhinya.

Sementara Haji A kepada wartawan mengaku, berkat bantuan para germo itu dirinya sudah sering menggunakan jasa mucikari ini, dengan membayar uang Rp 250 ribu hingga 300 ribu. Bahkan dari lima wanita yang digelandang, empat diantaranya pernah berhubungan intim dengan dirinya. (bah)

Demi Blackberry ABG Jual Diri 200 Ribu

WartaNews, Jakarta - Bila biasanya pelaku penjual gadis mencari mangsa di kampung, kini germo ini sudah merambah ke kota.

Jika di desa karena hidup susah lantaran ekonomi , maka dijakarta sebaliknya. Gaya hidup glamor kota metropolitan Jakarta membuat banyak anak baru gede (ABG) silau.

Berbagai barang yang dianggap menaikkan gengsi, mulai dari BlackBerry, iPad hingga nongkrong di tempat makan mahal, menjadi idaman. Padahal, kocek tak pernah tebal karena uang saku dari orangtua tak pernah banyak.

Melihat celah itu, penjahat asusila mulai beraksi. Tak tanggung-tanggung, mereka bergerilya mencari cewek ABG dengang menebar pesona rupia.

Memanfaatkan keluguan bocah-bocah ingusan itu, wanita germo macam Nunung tak sulit memperdaya mereka. Kepolosan dara belia ditukarnya dengan beberapa lembar uang ratusan rupiah pada pria hidung belang.

Aksi wanita 56 tahun itu dibantu Cepot, 48, yang bertindak sebagai mucikari. Tak cuma menjemput bola mencari ABG, Nunung juga meyediakan kamar di rumahnya di Jl. Siaga Swadaya, Pejaten Barat, Pasarminggu, Jaksel, sebagai tempat kencan.

Di rumah itulah, Di dikencani Heru, notaris 60 tahun. Kisah mesum ini diawali celoteh remaja 14 tahun pada teman tentang mimpinya memiliki BlackBerry. Cepot yang dikenal pandai bergaul di Pasarminggu mendengarnya. Tak buang waktu, ia langsung mendekati gadis belia itu menjajikan banyak uang dengan syarat mau menerima kencan seorang pria.

Bujuk rayu Cepot membuat Di tergiur. Maka, pada 22 Oktober, gadis bau kencur ini dikencani pria yang pantas jadi kakeknya di kamar rumah ibu dua anak itu. Tiga lembar uang Rp100.000 pun diserahkan. Hanya saja, satu di antaranya masuk ke saku pemilik rumah.

Belakangan, Di menyadari upah yang diterima jauh dari harapannya. Remaja ini menjadi pelamun. “Hingga orangtua Di membaca SMS di HP-nya yang menyebut kalau dirinya sudah melakukan perbuatan terlarang hingga benar-benar menyesal. Orang tua korban kemudian melaporkan kasus ini ke polisi,” kata Budi Irawan.

Petugas yang mendapat laporan langsung menyelidiki kasus ini dan menangkap tiga pelaku penjualan anak di bawah umur sekaligus membongkar prostitusi terselubung. Menurut Budi, selain Ds, ada gadis ABG berinisial In yang juga diperlakukan sama.

Diduga, Nunung sudah cukup lama menjalankan prostitusi terselubung di rumahnya.

“Kami masih terus mengembangkan kasus ini, termasuk mencari tahu berapa gadis ABG yang sudah dijual kepada om-om,” tandas Budi.

Setelah dimintai keterangan di kantor polisi, tersangka Heru dijerat Pasal UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Sedang untuk tersangka Nunung dikenakan pasal 88 UU Perlindungan Anak, dengan ancaman 10 tahun penjara.

Tersangka Cepot dijerat pasal 55 KUHP.
Menurut Budi, selain Di, masih ada dara berinisial In yang juga diperlakukan sama. Nunung diketahui sudah setahun menjalankan praktek prostitusi terselubung di rumahnya.

“Kami masih terus mengembangkan kasus ini, termasuk mencari tahu berapa banyak gadis ABG yang sudah dijual kepada om-om,” kata AKBP Budi.

Setelah dimintai keterangan di kantor polisi, tersangka Heru dijerat Pasal UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Sedang tersangka Nunung dikenakan pasal 88 UU Perlindungan Anak, dengan ancaman 10 tahun penjara. Tersangka Cepot dijerat pasal 55 KUHP.

Dijumpai di Polres Jakarta Selatan, Nunung, hanya bisa pasrah ditahan polisi. Selama menghuni sel prodeo, ia ditemani cucunya bernama Nadia, yang berusia 2 tahun. Bocah ini menangis saat neneknya dibawa ke ruang pemeriksaan.
Nunung mengaku tidak menjual Di maupun In di tempat tinggalnya.

“Mereka yang mau sendiri karena butuh uang untuk beli BlackBerry dan barang malah lain. Saya hanya mencari pria yang mau kencan dengan gadis-gadis itu,” ujarnya.

Sebelumnya, aksi tercela yang dilakukan para ABG dalam mencari duit dengan cara menjual tubuhnya juga pernah diungkap petugas Polres Jakarta Pusat beberapa waktu lalu di Apartemen Puri Kemayoran.

Petugas menciduk pengusaha berinisial As alias Al, 62, dan Te alias Ad, 20, germo yang menyalurkan ABG itu.

Kepada polisi As mengaku telah menyetubuhi tujuh ABG dengan bayaran Rp350 ribu sekali kencan. Uang tersebut kemudian dipotong Te sebesar Rp200 ribu. Kasus ini terbongkar setelah orang tua curiga anak-anak mereka memiliki BlackBerry dan kosmetik mahal. (*/js)

Demi Tuntutan Gaya Hidup, Eks Mahasiswiku Itupun Jual Diri

Entah setan apalagi yang mempengaruhi alam bawah sadar eks mahasiswiku. Seingat saya, ia termasuk mahasiswi yang lumayan berparas cantik, cukup cerdas dan sopan. Saya akui penampilannya saat jadi mahasiswiku terbilang wah. Handphone dan jenis pakaian serta dandanannya lumayan fashionable.

Sudah menjadi rahasia umumlah, kelas-kelas sosial dan teknik berpakaian anak kuliahan mulai dari ala kadarnya sampai yang top fashion. Belum ada juga riset perilaku tentang hubungan tingkat ekonomi dan pendapatan orangtua terhadap kecenderungan berpakaian dan penggunaan gadget pada mahasiswa. Kita hanya berasumsi bahwa terdapat korelasi antara tingkat ekonomi dengan life style mereka.

Sekali ini terjadi pemandangan negatif, menyuramkan pikiran dan perasaan saya. Bagaimana mungkin seorang (eks mahasiswi) memperdagangkan tubuhnya hanya tuntutan gaya hidup seperti di kala masih menjadi mahasiswi. Apa karena kiriman uang dari orangtua tak sebesar dulu lagi?. Ataukah ingin cepat bekerja namun sulitnya menjadi pegawai negeri atau sulitnya diterima bekerja di perusahaan bonafid dan BUMN semisal perbankan dan telkom?.

Entahlah…informasi yang saya dapatkan bahwa eks mahasiswiku itu merasa kehilangan jati diri dan identitas saat-saat ini. Ia tak lagi self confidence dengan performance dirinya setelah menjadi seorang alumni.
Kisah ini saya awali saat bertemu dia di sebuah rumah makan di bilangan Jalan Irian-Kota Makassar. Saya tak menyangka juga pada pukul 03.00-an, dia berada di tempat itu, Sebetulnya hal ini wajar sebab rumah makan yang kerap warga Makassar menyebut MIe-Titi terbuka 24 jam.

Namun yang mengherankan buat saya, mengapa eks mahasiswi itu “berada” di pusat kota itu dini hari dengan pakaian yang sudah mirip penjaja seks. Ada apa dengannya?. Apakah telah terjadi revolusi perilaku pada dirinya?. Mengapa justru telah menjadi alumni, ia tidak lebih baik? Ini teropongan dari luar saya. Pandangan kasat mata saya.

Apakah dengan keterjepitan ekonomi ataukah kesempitan hidup yang mungkin saja telah terbiasa berperilaku “wah” saat mahasiswi membuat ia harus pertahankan gaya hidup itu dengan taruhan kelewat mahal yakni menjajakkan diri walau sifatnya freelance?.

Saya sayangkan sekali sebab ia telah ditempa selama kuliah untuk giat berpikir universe dan logis. Logiskah mengorbankan diri hanya gara-gara mempertahanakan gaya hidup yang sebetulnya bukanlah hal esensial?.  Ah, pikiran saya ngaco malam itu.

Malam yang cukup dingin saat itu, tak sedikitpun alasanku untuk menyalahkannya, saya hanya bertanya-tanya gejala apa yang terjadi pada dirinya. Saat itupun saya terdorong untuk menghampirinya sebab sedari tadi juga ia sekali-sekali mengarahkan pandangannya kepadaku. Ia masih sendiri di mejanya, saya berdiri dan beranjak dan menghampirinya. Dengan penuh keraguan ia memberi senyuman.
Kami ngobrol seadanya dan ternyata dia dari tadi pengen tinggalkan tempat ini hanya saja risih karena harus melewati meja saya. Begitu pengakuan jujurnya kepadaku.
* * *
Karena arlojiku sudah menunjukkan pukul 04.00, sayapun hendak pulang. Saya bayar kasir rumah makan itu sekalian bayarkan dia. Ia ternyata mengikutiku. Saya sadar ia di belakangku. Saya tanya dia mau ke mana?. Bukannya dia menjawab pertanyaanku tetapi dengan malu dan sangat berat -tentunya juga segan- ia minta uang ongkos taxi pulang.

Saya tentu kaget sebab hal ini tak mungkin ia lakukan untuk meminta ongkos taksi. Tanyaku dalam hati, apakah ia benar-benar tak punya uang? Ataukah ini hanya trik untuk suatu maksud dan tujuan.
Ini membuatku benar-benar penasaran akan tanyaku dalam hati dan mengerutkan dahiku berpikir. Ah, kenapa saya tidak tawarkan saja untuk mengantarkan pulang ke rumahnya. Rupanya ia tak menolak untuk kuantar.

Dalam perjalanan, kami sama-sama segan bertanya satu sama lain. Satu-satunya pertanyaan yang saya ajukan adalah apa sudah kerja?. Inilah pertanyaan yang sukses membuka obrolan kami berdua di atas mobil.
Terungkap sudah saat ia menyampaikannya dengan nada suara terbata-bata. Pengakuannya sudah tak gadis lagi, ia pernah pacaran dengan seorang cowok yang berkantong lumayan. Cowok itulah yang menjadi tumpuan dalam mempertahankan gaya hidup “wah”nya selama dalam masa pengangguran.
Ia mengakui tak ingin dikatakan “mundur” dalam dunia pergaulan masa kini, dunia hiruk pikuknya IT dan beragamnya produk-produk gadget. Ia tak rela memiliki hanya satu handphone, ia sudah terbiasa gonta-ganti handphone dan juga membeli baju-baju bermerek.

Tuturannya memperlihatkan bahwa ia pacaran dengan cowok itu dengan maksud dapat mensuplai lembaran rupiah akan kebutuhan gaya hidupnya. Sayangnya, sang cowok memutuskannya sebab sang cowok telah merasa kalau eks mahasiswiku ini menguras isi dompetnya.

Tak perlulah saya melanjutkan kisah ini sebab ujung-ujungnya adalah eks mahasiswiku ini telah menjual dirinya demi sebuah gengsi pergaulan, gengsi gaya hidup. Itulah simpulan akhirku dari penuturannya.

Pesan perilaku: “Jika dunia telah diguncang peradaban dengan kecanggihannya. Pertanyaannya, berapa banyak manusia yang belum siap menghadapinya”

Demikianlah tulisan sederhanaku malam ini.. Semoga bermanfaat.. Selamat Malam.

Inilah Strategi dan Alasan ABG Mencari Pria Hidung Belang dan Om-om

Inilah Strategi dan Alasan ABG Mencari Pria Hidung Belang dan Om-om


tiraimaya.com - Ingin menguak fenomena cewe yang maruk harta!Heeee.. Maksudnya maruk harta ialah Para ABG yang Matre yang hanya memanfaatkan uang para lelaki mapan. Nah, dari situ saya akan membuka kenapa sich cewe itu lebih suka mencari pria hidung belang dan terutama Om Om...Heeee.. Kira-kira kenapa ya? nah inilah dia penjelaannya secara blak-blakan.

Menjadi cewek metropolis ataupun cewek gaul yang glamor dan tak ketinggalan mode, hanya bisa terwujud bila memiliki uang dan uang. Untuk meraih impian itu, sejumlah anak baru gede (ABG) yang ekonomi orangtuanya lemah, menempuh berbagai cara. Sebagian di antara cewek usia belasan tahun ini mencari uang dengan jalan menjual diri alias menjadi ******* amatiran .wkakakkakakakkaa,,

"Uang dari orangtua mana cukup buat beli baju gaul, HP model terbaru? Bisa ketinggalan kita," kata Ratna,17, (bukan nama sebenarnya), cewek ABG kormod alias korban mode.

Upaya memenuhi keinginannya itu, Ratna rela jadi ******* amatir. Pusat perbelanjaan dijadikan sebagai ajang bergaul sekaligus meraup rupiah dari lelaki iseng pencari kenikmatan sesaat. Mejeng di mal sambil mencari mangsa.

Terhadap ABG kelompok ini, pria iseng cukup bermodal Rp100 ribu, bisa kencan sambil menjamah tubuh, meskipun hanya sebatas close up alias setengah badan.

Sepak-terjang ABG yang menjajakan diri ini bisa ditemui di sejumlah pusat perbelanjaan di ibukota. Ironisnya, mereka rata-rata berstatus pelajar, ada juga mahasiswi.

Alasan mereka kepada orangtua, pergi belajar kelompok atau mengikuti kegiatan sekolah agar bisa bebas keluar rumah. ABG bangor beroperasi di mal tak cuma malam hari, tapi banyak pula dijumpai nongkrong siang bolong menjajakan diri.

Mereka ada yang dijuluki cewek parkir lantaran mangkalnya di tempat parkir, ada pula mangkal di pusat jajan makananan (food court), ada juga yang mencari sasaran di depan gedung bioskop. Pekcun alias ***** culun, begitulah julukan yang sering dilontarkan publik terhadap mereka.

Lebih Agresif

Dari pantauan sebuah koran Jakarta, di mal pada kawasan Kalibata misalnya, ada sekitar 30 cewek ABG mencari mangsa tersebar di ruang tunggu bioskop, food court dan tempat parkir. Pemandangan serupa dapat dipantau pada pusat perdagangan dan perbelanjaan di kawasan Senen serta pusat perdagangan dan perbelanjaan di kawasan Rawamangun.

Gaya mereka menyerupai gadis lainnya yang datang ke mal untuk belanja. Inilah yang kerap membuat jengah gadis baik-baik karena kena imbas dikira cewek mal cari mangsa.

Mengenakan celana jins model pensil, kaos lengan pendek, blus model baby dol yang sedang ngetren, penampilan mereka sama sekali jauh dari kesan sebagai *******.

Namun bila diperhatikan, ada hal yang membedakan antara ABG ******* dengan ABG baik-baik. ABG ******* tampil centil, genit, agresif, berani menggoda lelaki meski belum dikenal dan bersikap sangat ramah.

Sasaran mereka, selain pria yang biasa dijuluki brondong juga lelaki setengah baya alias om-om parlente dan tajir alias berkantong tebal.

"Nih brondong keren euy. Tapi keren-keren gitu namanya Parto lho, atau Gino kali ya?" celetuk satu cewek ABG di depan bioskop yang disambut tawa cekikikan dua teman lainnya.

Bagi pria yang masuk perangkap, kencan pun dimulai. Obrolan mereka nyambung dan langsung akrab.

Sama halnya di food court, cara mereka menarik perhatian lelaki dengan kerlingan mata atau membuat canda berlebihan. "Meskipun cuma dibayarin makan aja, gak apa-apalah, lumayan juga," kata Ratna, yang mengaku dirinya dan bersama geng kerap mangkal di satu mal kawasan Kalibata.

Lain lagi dengan cewek parkir, tampilannya berlagak menunggu teman. Padahal mereka mejeng sambil matanya melirik-lirik ke arah lelaki yang diincar.

Layanan Close Up

Kelompok ABG ini selain mencari uang juga mencari kesenangan di mal. Target lain bisa belanja barang harga mahal dan dapat menyantap makanan enak.

Tarif mereka terbilang murah antara Rp 100 ribu hingga Rp300 ribu. Pelaku prostitusi terselubung ini memberi pelayanan dari pinggang ke atas. Istilah mereka close up.

Pelayanan colse up berlangsung singkat. Tempatnya di dalam gedung bioskop sambil nonton film. Lelaki iseng leluasan menggerayangi tubuh ABG selama pemutaran film berlangsung. Kencan bisa juga dilakukan di dalam mobil yang sedang diparkir.

Bila mau pelayanan lebih, harus tambah ongkos minimal Rp300 ribu untuk di-booking ke hotel. Harga pasaran ABG ini bisa turun asal mereka diajak shoping.

"Sebelum ngeroom (istilah untuk ngamar) kita belanja-belanja dulu," cerita Ririn, ABG lainnya.

Bagi lelaki pemburu ABG di mal, paham betul cara menggaet mereka. Tentu dengan cara mengajak belanja pakaian dulu, baru dibawa ke kamar hotel.

Mau mencari cewek parkir dimal? Mereka biasa mejeng sekitar Pk. 19:00 saat pengunjung banyak yang mulai meninggalkan mal. Operasi pekcun kelompok ini cukup rapih. Mereka tak hanya mejeng di area parkir, tapi kadang bersembunyi di tempat tertentu.

Untuk bisa menemui mereka, lebih dulu ketemu juru parkir (jukir) nyambi sebagai germo. Jukir yang nyambi ini kemudian mengontak mereka. Pekcun beroperasi di arena parkir, geliatnya lebih profesional ketimbang yang mangkal di sekitar bioskop atau di food court.

Tentu saja si tukang parkir mendapat jatah dari cewek yang dapat tamu. Setiap kali dapat tamu, si cewek memberi upah Rp20 ribu hingga Rp50 ribu.

Tak hanya tukang parkir yang kecipratan uang. Kalangan preman pun mendapat jatah uang perlindungan. "Kalau mau aman, ya kita bagi juga mereka, sekedar buat beli rokok," ucap Siska, 19, cewek parkir, sambil menyebut nilai minimal Rp20 ribu untuk jatah preman.

Preman ini bukan tanpa jasa. Kerja mereka menghubungi si pekcun bila ada razia petugas. "Tugas mereka harus cepet-cepet kasih tau kita kalau ada petugas," ungkap Lina, 17, dara yang mengaku pelajar satu SMA di Jaksel.

Dalam satu minggu, pekcun mengantongi uang antara Rp200 ribu Rp400 ribu. Mereka mengaku tak ada germo yang mengkoordinir secara khusus.

Beberapa tahun silam, aparat merazia puluhan ABG dirazia di mal kawasan Kalibata. Terbukti keberadaan mereka dikoordinir seorang cewek yang bertindak sebagai germo.

Fenomena ABG jual diri merupakan imbas dari rongrongan gaya hidup metropolis, tak seimbang dengan kemampuan ekonomi orangtua.

Butuh duit buat jajan

SISKA begitu ia biasa dipanggil. Gadis yang baru tumbuh dewasa itu mengaku menjadi 'penjudi' (penjual diri) karena ingin seperti kawan-kawannya yang hidup berkelimang kemewahan. Tapi dia sadar, kalau keinginannya untuk seperti itu tidak akan bisa karena kedua orang tuanya hidupnya serba pas-pasan.

"Jangankan untuk membeli pakaian yang harganya cukup mahal, untuk belanja sehari-hari aja kurang,"kata gadis yang mengaku masih sekolah di SLTA dibilangan Jakarta Selatan tersebut.

Dengan ketiadaannya itu, ABG (anak baru gede) yang satu ini terpaksa mejeng dan menjual diri di mal. Tujuannya hanya satu, dapat nonton dan menemani om-om yang berkantong tebal. Gadis mungil berkulit putih itu pun hampir tiga kali dalam satu minggu nongkrong di pusat perbelanjaan dibilangan Kalibata, Jakarta Selatan.

Kebutuhan hidup
Sepintas orang tidak akan menyangka kalau perempuan yang mengaku baru berumur 15 tahun itu menjual diri demi memenuhi kebutuhannya hidup yang mewah. Sebenarnya Siska malu. Apalagi jika bertemu dengan teman atau tetangga rumahnya. "Habis gimana Bang, jika nggak begini saya tidak punya duit jajan yang cukup. Uang yang dikasih orang tua tak cukup," kata Siska yang mengaku tinggal di kawasan Cempaka Putih, Jakpus.

Anak kedua dari empat bersaudara itu mengaku bapaknya hanyalah buruh pabrik di kawasan Bekasi dengan gaji yang sangat pas-pasan. Hidup serba kekurangan, sementara teman sebayanya hidup serba berkecukupan. Iri ingin seperti teman – temanya membuatnya mengambil jalan pintas.

Berbekal tubuh yang seksi, dia terpaksa terjun ke dalam bisnis "esek- esek". "Pertama-tama saya melakukannya sempat gemeter dan takut akan ketahuan orang, tapi kini sudah terbiasa, " katanya seraya menambahkan sekali kencan, dia pasang tarif antara Rp 200.000 hingga Rp 250.000.

Kesepian di rumah

Lain lagi dengan Lia. Kebiasaan nongkrong di bioskop itu karena merasa kesepian di rumah setelah kedua orang tuanya sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Hampir setiap pulang sekolah gadis itu menyempatkan diri datang ke bioskop yang berada di kawasan Atrium, Senen, Jakarta Pusat. Di tempat itu, ABG ini mengaku banyak teman bukan hanya sesama pelajar seusianya, tapi om-om yang suka mencari daun muda.

"Saya sering diajak nonton sama om-om dan brondong. Saya nggak pernah pasang tarif, berapa pun dia mengasih pasti saya terima,"ujar Lia sambil menambahkan setiap diajak nonton dirinya di kasih uang Rp 100 ribu hingga 200 ribu.

Lia mengaku setiap hari selalu membawa baju dan celana ganti. " Kalau pakai seragam sekolah dilarang satpam masuk ke mal. Saya bawa ganti untuk mengelabuhi petugas keamanan," tambah gadis yang mengaku tinggal di daerah kawasan elite Kelapa Gading, Jakut.

Lia nongkrong di mal bukan semata mencari uang, tapi yang utama kesenangan. Tak heran jika ada pria yang cocok dengannya, tanpa dikasih uang pun nggak apa-apa. Tapi kalau tidak sesuai dengan kehendak hatinya, dibayar berapa pun akan ditolaknya. "Kalau cocok, cepek ceng (Rp 100.000) bersih, kita sikat aja Mas," kata Lia sambil tertawa lepas.

Jika sudah transaksi, kencan berlanjut di hotel-hotel transit tak jauh dari lokasi. Tapi kadang-kadang Lia tak segan menolak tunge, istilah mereka untuk hubungan intim, kalau pelanggannya itu tak royal membelikan makanan dan rokok.

Susan lain lagi. 

"Berani berkenalan dan mau diajak jalan sama om-om setelah beberapa kali ditemani teman saya. Semula saya malu-malu, tapi karena duit yang saya dapat banyak akhirnya keterusan deh,"ungkap ABG yang mengaku tinggal di daerah Rawamangun, Jaktim tersebut.



Sumber

Hak Asasi Manusia di Papua


Hak Asasi Manusia di Papua

Sejak tahun 2003, Faith-based Network on West Papua (FBN) telah mendukung pemukapemuka agama di Tanah Papua dalam kampanye “Papua, tanah perdamaian2” (Papua, land of peace). Proyek tersebut bertujuan untuk menciptakan Tanah Papua yang damai dan adil, di mana masyarakat lokal hidup tanpa rasa takut dan mendapatkan kesetaraan sosial, kesejahteraan ekonomi dan jaminan hukum. Dengan kata lain, sebuah tempat di mana Hak Asasi Manusia (HAM) dijamin untuk semua orang terlepas dari latar belakang etnis
dan agama mereka.

The Voice of Papuan Students Alliance

Link Mitra