Sabtu, 02 Agustus 2014

Rekomendasi UPR 2012: Tantangan Komitmen Indonesia dalam Penegakan HAM 4 Tahun ke Depan


Rekomendasi UPR 2012: Tantangan Komitmen Indonesia dalam Penegakan HAM 4 Tahun ke Depan

AHRC - KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), SETARA Institute, AHRC (Asian Human Rights Commission), ICTJ (International Center for Transitional Justice), PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) serta Protection International (PI) menyambut baik rekomendasi hasil sidang UPR (Universal Periodic Review) yang dirilis pada 25 Mei kemarin. Sidang UPR telah meluncurkan segudang rekomendasi penting yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dalam 4 tahun ke depan dalam penegakan HAM.

Tercatat total 74 negara anggota yang berpartisipasi dalam sidang yang digelar 23 Mei 2012 tersebut telah melakukan review terhadap laporan yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia. 27 diantaranya anggota Dewan HAM dan 47 lainnya negara-negara peninjau. Tercatat bahwa negara-negara ASEAN telah juga berpartisipasi dalam mereview kondisi HAM di Indonesia.

Terhadap rekomendasi yang diadopsi oleh kelompok kerja UPR pada sesi ke-2 ini, kami melihat sebagai rekomendasi yang cukup komprehensif untuk mengukur komitmen pemerintah Indonesia dalam penegakan HAM yang meliputi banyak isu. Dalam rilis ini kami menghilight beberapa isu yang menjadi konsern dan telah disampaikan dalam laporan versi masyarakat sipil yang telah kami submit sebelum sidang.
Pertama, rekomendasi banyak menggarisbawahi beberapa agenda yang sudah termaktub di dalam Rencana Aksi Nasional (Ranham 2011-2014) diantaranya menyangkut ratifikasi beberapa instrumen internasional yang tersendat. Sebut saja ratifikasi Rome Statue ICC serta OPCAT yang sudah masuk dalam Ranham periode tahun sebelumnya serta masuk dalam rekomendasi UPR pada sesi pertama 2004-2011. Namun, hingga masuk pada review UPR kedua kemarin dua instrument tersebut belum terlihat progress yang signifikan dan bahkan dimasukkan kembali pada Ranham berikutnya 2011-2014. Dalam rekomendasi juga disebutkan adanya pemenuhan ratifikasi Konvensi anti penghilangan Paksa.

Kedua, Rekomendasi atas jaminan penghentian tindakan penyiksaan yang dihubungkan dengan proses amandemen KUHP yang tidak kunjung terselesaikan. Penyiksaan sebagai sebuah kejahatan dalam sidang UPR putaran ke-dua ini banyak disinggung untuk masuk kedalam amandemen KUHP sesuai dengan Konvensi anti penyiksaan yang telah di ratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Rekomendasi terhadap amandemen KUHP ini juga muncul sebelumnya pada rekomendasi sidang UPR putaran pertama (2004-2011). Sehubungan dengan penghentian tindakan penyiksaan tersebut, kembali rekomendasi UPR 2012 merekomendasikan adanya pelatihan bagi aparat keamanan serta penegakan hukum dengan membawa para pelaku ke pengadilan sipil dan bukan pengadilan militer (dalam hal pelaku berasal dari kesatuan militer).
Ketiga, keprihatinan pada kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan banyak disampaikan oleh negara-negara dalam sidang UPR 2012 ini. Atas hal itu, rekomendasi yang dikeluarkan khusus menyinggung kebebasan beragama dan berkeyakinan tentang jaminan pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk mengkhususkan pada kelompok seperti Ahmadiyah, Bahai, Syiah dan Kristen. Dalam rekomendasi ini juga menekankan kepada pemerintah Indonesia untuk mencabut/mengamandemen beberapa perundang-undangan yang ada yang mendiskriminasikan langsung dan tidak langsung terhadap suatu agama atau keyakinan, dimana perundang-undangan tersebut tidak sejalan dengan konstitusi RI dan mekanisme internasional.

Keempat, terkait dengan jaminan perlindungan Pembela HAM, rekomendasi UPR 2012 menekankan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan kepastian atas lingkungan yang aman untuk mendukung kerja-kerja Pembela HAM termasuk juga jaminan untuk melakukan investigasi independen dan tidak parsial atas tindakan kekerasan terhadap pembela HAM dan memastikan adanya proses hukum.
Kelima, spesifik dengan kondisi di Papua, rekomendasi UPR 2012 banyak mengkaitkan dengan isu kebebasan berekspresi khususnya berekspresi dalam isu politik. Penekanan atas jaminan kebebasan berekspresi termasuk diantaranya jaminan kebebasan berpendapat dengan mengakhiri pemberlakukan pasal 106 dan 110 KUHP. Situasi di Papua yang masih jauh dari kemudahan akses para jurnalis, pada rekomendasi kali ini jurnalis baik asing maupun local dipastikan terpenuhi jaminan untuk memperoleh akses dengan bebas untuk masuk ke Papua dan Papua Barat. Pertanggungjawaban atas serangkaian pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan oleh militer dan polisi serta iklim impunitas direkomendasikan untuk segera dihentikan.

Keenam, melawan impunitas menjadi rekomendasi yang umum untuk beberapa serangkaian isu yang digarisbawahi dalam rekomendasi UPR 2012. Melawan impunitas dalam hal ini dengan memperkuat undang-undang dan peraturan lainnya termasuk di tingkat pelaksanaannya.
Ketujuh, reformasi di tingkat sector keamanan menjadi bagian rekomendasi yang spesifik disampaikan sebagai upaya meningkatkan penghormatan terhadap HAM dan aturan hukum melalui reformasi pendidikan dan institusi.

Dari serangkaian rekomendasi yang telah disampaikan tersebut diatas, kami menilai bahwa rekomendasi tersebut lebih konkrit dari rekomendasi 4 tahun lalu yang serta merta menjadikan rekomendasi tersebut sabagai tantangan bagi pemerintah Indonesia dalam 4 tahun ke depan dalam penegakan HAM.
Untuk itu kami mendesak kepada pemerintah terkait untuk merealisasikan rekomendasi-rekomendasi tersebut dalam turunan yang lebih konkrit, sehingga perkembangan dari masing-masing rekomendasi tersebut dapat diukur tingkat keberhasilan dalam periode waktu tertentu menuju pada review UPR berikutnya. Konkritnya, kami meminta agar Presiden segera memanggil sejumlah pejabat teras dari institusi-institusi yang terkait dengan isu-isu diatas; seperti Ketua Mahkamah Agung, Kapolri, Jaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM, Ketua Komnas HAM dan lainnya, untuk memastikan bahwa ada upaya yang serius dalam implementasi terkait perlindungan HAM. Tak kurang, kami dari masyarakat sipil pun bersedia untuk menjadi mitra dalam pemenuhan HAM tersebut.
KontraS, SETARA Institute, AHRC, ICTJ, PGI and PI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 02 Agustus 2014

Rekomendasi UPR 2012: Tantangan Komitmen Indonesia dalam Penegakan HAM 4 Tahun ke Depan


Rekomendasi UPR 2012: Tantangan Komitmen Indonesia dalam Penegakan HAM 4 Tahun ke Depan

AHRC - KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), SETARA Institute, AHRC (Asian Human Rights Commission), ICTJ (International Center for Transitional Justice), PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) serta Protection International (PI) menyambut baik rekomendasi hasil sidang UPR (Universal Periodic Review) yang dirilis pada 25 Mei kemarin. Sidang UPR telah meluncurkan segudang rekomendasi penting yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dalam 4 tahun ke depan dalam penegakan HAM.

Tercatat total 74 negara anggota yang berpartisipasi dalam sidang yang digelar 23 Mei 2012 tersebut telah melakukan review terhadap laporan yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia. 27 diantaranya anggota Dewan HAM dan 47 lainnya negara-negara peninjau. Tercatat bahwa negara-negara ASEAN telah juga berpartisipasi dalam mereview kondisi HAM di Indonesia.

Terhadap rekomendasi yang diadopsi oleh kelompok kerja UPR pada sesi ke-2 ini, kami melihat sebagai rekomendasi yang cukup komprehensif untuk mengukur komitmen pemerintah Indonesia dalam penegakan HAM yang meliputi banyak isu. Dalam rilis ini kami menghilight beberapa isu yang menjadi konsern dan telah disampaikan dalam laporan versi masyarakat sipil yang telah kami submit sebelum sidang.
Pertama, rekomendasi banyak menggarisbawahi beberapa agenda yang sudah termaktub di dalam Rencana Aksi Nasional (Ranham 2011-2014) diantaranya menyangkut ratifikasi beberapa instrumen internasional yang tersendat. Sebut saja ratifikasi Rome Statue ICC serta OPCAT yang sudah masuk dalam Ranham periode tahun sebelumnya serta masuk dalam rekomendasi UPR pada sesi pertama 2004-2011. Namun, hingga masuk pada review UPR kedua kemarin dua instrument tersebut belum terlihat progress yang signifikan dan bahkan dimasukkan kembali pada Ranham berikutnya 2011-2014. Dalam rekomendasi juga disebutkan adanya pemenuhan ratifikasi Konvensi anti penghilangan Paksa.

Kedua, Rekomendasi atas jaminan penghentian tindakan penyiksaan yang dihubungkan dengan proses amandemen KUHP yang tidak kunjung terselesaikan. Penyiksaan sebagai sebuah kejahatan dalam sidang UPR putaran ke-dua ini banyak disinggung untuk masuk kedalam amandemen KUHP sesuai dengan Konvensi anti penyiksaan yang telah di ratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Rekomendasi terhadap amandemen KUHP ini juga muncul sebelumnya pada rekomendasi sidang UPR putaran pertama (2004-2011). Sehubungan dengan penghentian tindakan penyiksaan tersebut, kembali rekomendasi UPR 2012 merekomendasikan adanya pelatihan bagi aparat keamanan serta penegakan hukum dengan membawa para pelaku ke pengadilan sipil dan bukan pengadilan militer (dalam hal pelaku berasal dari kesatuan militer).
Ketiga, keprihatinan pada kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan banyak disampaikan oleh negara-negara dalam sidang UPR 2012 ini. Atas hal itu, rekomendasi yang dikeluarkan khusus menyinggung kebebasan beragama dan berkeyakinan tentang jaminan pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk mengkhususkan pada kelompok seperti Ahmadiyah, Bahai, Syiah dan Kristen. Dalam rekomendasi ini juga menekankan kepada pemerintah Indonesia untuk mencabut/mengamandemen beberapa perundang-undangan yang ada yang mendiskriminasikan langsung dan tidak langsung terhadap suatu agama atau keyakinan, dimana perundang-undangan tersebut tidak sejalan dengan konstitusi RI dan mekanisme internasional.

Keempat, terkait dengan jaminan perlindungan Pembela HAM, rekomendasi UPR 2012 menekankan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan kepastian atas lingkungan yang aman untuk mendukung kerja-kerja Pembela HAM termasuk juga jaminan untuk melakukan investigasi independen dan tidak parsial atas tindakan kekerasan terhadap pembela HAM dan memastikan adanya proses hukum.
Kelima, spesifik dengan kondisi di Papua, rekomendasi UPR 2012 banyak mengkaitkan dengan isu kebebasan berekspresi khususnya berekspresi dalam isu politik. Penekanan atas jaminan kebebasan berekspresi termasuk diantaranya jaminan kebebasan berpendapat dengan mengakhiri pemberlakukan pasal 106 dan 110 KUHP. Situasi di Papua yang masih jauh dari kemudahan akses para jurnalis, pada rekomendasi kali ini jurnalis baik asing maupun local dipastikan terpenuhi jaminan untuk memperoleh akses dengan bebas untuk masuk ke Papua dan Papua Barat. Pertanggungjawaban atas serangkaian pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan oleh militer dan polisi serta iklim impunitas direkomendasikan untuk segera dihentikan.

Keenam, melawan impunitas menjadi rekomendasi yang umum untuk beberapa serangkaian isu yang digarisbawahi dalam rekomendasi UPR 2012. Melawan impunitas dalam hal ini dengan memperkuat undang-undang dan peraturan lainnya termasuk di tingkat pelaksanaannya.
Ketujuh, reformasi di tingkat sector keamanan menjadi bagian rekomendasi yang spesifik disampaikan sebagai upaya meningkatkan penghormatan terhadap HAM dan aturan hukum melalui reformasi pendidikan dan institusi.

Dari serangkaian rekomendasi yang telah disampaikan tersebut diatas, kami menilai bahwa rekomendasi tersebut lebih konkrit dari rekomendasi 4 tahun lalu yang serta merta menjadikan rekomendasi tersebut sabagai tantangan bagi pemerintah Indonesia dalam 4 tahun ke depan dalam penegakan HAM.
Untuk itu kami mendesak kepada pemerintah terkait untuk merealisasikan rekomendasi-rekomendasi tersebut dalam turunan yang lebih konkrit, sehingga perkembangan dari masing-masing rekomendasi tersebut dapat diukur tingkat keberhasilan dalam periode waktu tertentu menuju pada review UPR berikutnya. Konkritnya, kami meminta agar Presiden segera memanggil sejumlah pejabat teras dari institusi-institusi yang terkait dengan isu-isu diatas; seperti Ketua Mahkamah Agung, Kapolri, Jaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM, Ketua Komnas HAM dan lainnya, untuk memastikan bahwa ada upaya yang serius dalam implementasi terkait perlindungan HAM. Tak kurang, kami dari masyarakat sipil pun bersedia untuk menjadi mitra dalam pemenuhan HAM tersebut.
KontraS, SETARA Institute, AHRC, ICTJ, PGI and PI

0 komentar:

Posting Komentar

The Voice of Papuan Students Alliance

Link Mitra