Rekomendasi UPR 2012: Tantangan Komitmen Indonesia dalam Penegakan HAM 4 Tahun ke Depan
AHRC
- KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan),
SETARA Institute, AHRC (Asian Human Rights Commission), ICTJ
(International Center for Transitional Justice), PGI (Persekutuan Gereja
Indonesia) serta Protection International (PI) menyambut baik
rekomendasi hasil sidang UPR (Universal Periodic Review) yang dirilis
pada 25 Mei kemarin. Sidang UPR telah meluncurkan segudang rekomendasi
penting yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dalam 4
tahun ke depan dalam penegakan HAM.
Tercatat total 74 negara anggota yang berpartisipasi dalam sidang
yang digelar 23 Mei 2012 tersebut telah melakukan review terhadap
laporan yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia. 27 diantaranya
anggota Dewan HAM dan 47 lainnya negara-negara peninjau. Tercatat bahwa
negara-negara ASEAN telah juga berpartisipasi dalam mereview kondisi HAM
di Indonesia.
Terhadap rekomendasi yang diadopsi oleh kelompok kerja UPR pada sesi
ke-2 ini, kami melihat sebagai rekomendasi yang cukup komprehensif untuk
mengukur komitmen pemerintah Indonesia dalam penegakan HAM yang
meliputi banyak isu. Dalam rilis ini kami menghilight beberapa isu yang
menjadi konsern dan telah disampaikan dalam laporan versi masyarakat
sipil yang telah kami submit sebelum sidang.
Pertama, rekomendasi banyak menggarisbawahi beberapa agenda yang
sudah termaktub di dalam Rencana Aksi Nasional (Ranham 2011-2014)
diantaranya menyangkut ratifikasi beberapa instrumen internasional yang
tersendat. Sebut saja ratifikasi Rome Statue ICC serta OPCAT yang sudah
masuk dalam Ranham periode tahun sebelumnya serta masuk dalam
rekomendasi UPR pada sesi pertama 2004-2011. Namun, hingga masuk pada
review UPR kedua kemarin dua instrument tersebut belum terlihat progress
yang signifikan dan bahkan dimasukkan kembali pada Ranham berikutnya
2011-2014. Dalam rekomendasi juga disebutkan adanya pemenuhan ratifikasi
Konvensi anti penghilangan Paksa.
Kedua, Rekomendasi atas jaminan penghentian tindakan penyiksaan yang
dihubungkan dengan proses amandemen KUHP yang tidak kunjung
terselesaikan. Penyiksaan sebagai sebuah kejahatan dalam sidang UPR
putaran ke-dua ini banyak disinggung untuk masuk kedalam amandemen KUHP
sesuai dengan Konvensi anti penyiksaan yang telah di ratifikasi oleh
pemerintah Indonesia. Rekomendasi terhadap amandemen KUHP ini juga
muncul sebelumnya pada rekomendasi sidang UPR putaran pertama
(2004-2011). Sehubungan dengan penghentian tindakan penyiksaan tersebut,
kembali rekomendasi UPR 2012 merekomendasikan adanya pelatihan bagi
aparat keamanan serta penegakan hukum dengan membawa para pelaku ke
pengadilan sipil dan bukan pengadilan militer (dalam hal pelaku berasal
dari kesatuan militer).
Ketiga, keprihatinan pada kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan
banyak disampaikan oleh negara-negara dalam sidang UPR 2012 ini. Atas
hal itu, rekomendasi yang dikeluarkan khusus menyinggung kebebasan
beragama dan berkeyakinan tentang jaminan pelaksanaan kebebasan beragama
dan berkeyakinan termasuk mengkhususkan pada kelompok seperti
Ahmadiyah, Bahai, Syiah dan Kristen. Dalam rekomendasi ini juga
menekankan kepada pemerintah Indonesia untuk mencabut/mengamandemen
beberapa perundang-undangan yang ada yang mendiskriminasikan langsung
dan tidak langsung terhadap suatu agama atau keyakinan, dimana
perundang-undangan tersebut tidak sejalan dengan konstitusi RI dan
mekanisme internasional.
Keempat, terkait dengan jaminan perlindungan Pembela HAM, rekomendasi
UPR 2012 menekankan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan
kepastian atas lingkungan yang aman untuk mendukung kerja-kerja Pembela
HAM termasuk juga jaminan untuk melakukan investigasi independen dan
tidak parsial atas tindakan kekerasan terhadap pembela HAM dan
memastikan adanya proses hukum.
Kelima, spesifik dengan kondisi di Papua, rekomendasi UPR 2012 banyak
mengkaitkan dengan isu kebebasan berekspresi khususnya berekspresi
dalam isu politik. Penekanan atas jaminan kebebasan berekspresi termasuk
diantaranya jaminan kebebasan berpendapat dengan mengakhiri
pemberlakukan pasal 106 dan 110 KUHP. Situasi di Papua yang masih jauh
dari kemudahan akses para jurnalis, pada rekomendasi kali ini jurnalis
baik asing maupun local dipastikan terpenuhi jaminan untuk memperoleh
akses dengan bebas untuk masuk ke Papua dan Papua Barat.
Pertanggungjawaban atas serangkaian pelanggaran HAM di Papua yang
dilakukan oleh militer dan polisi serta iklim impunitas direkomendasikan
untuk segera dihentikan.
Keenam, melawan impunitas menjadi rekomendasi yang umum untuk
beberapa serangkaian isu yang digarisbawahi dalam rekomendasi UPR 2012.
Melawan impunitas dalam hal ini dengan memperkuat undang-undang dan
peraturan lainnya termasuk di tingkat pelaksanaannya.
Ketujuh, reformasi di tingkat sector keamanan menjadi bagian
rekomendasi yang spesifik disampaikan sebagai upaya meningkatkan
penghormatan terhadap HAM dan aturan hukum melalui reformasi pendidikan
dan institusi.
Dari serangkaian rekomendasi yang telah disampaikan tersebut diatas,
kami menilai bahwa rekomendasi tersebut lebih konkrit dari rekomendasi 4
tahun lalu yang serta merta menjadikan rekomendasi tersebut sabagai
tantangan bagi pemerintah Indonesia dalam 4 tahun ke depan dalam
penegakan HAM.
Untuk itu kami mendesak kepada pemerintah terkait untuk
merealisasikan rekomendasi-rekomendasi tersebut dalam turunan yang lebih
konkrit, sehingga perkembangan dari masing-masing rekomendasi tersebut
dapat diukur tingkat keberhasilan dalam periode waktu tertentu menuju
pada review UPR berikutnya. Konkritnya, kami meminta agar Presiden
segera memanggil sejumlah pejabat teras dari institusi-institusi yang
terkait dengan isu-isu diatas; seperti Ketua Mahkamah Agung, Kapolri,
Jaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM, Ketua Komnas HAM dan lainnya,
untuk memastikan bahwa ada upaya yang serius dalam implementasi terkait
perlindungan HAM. Tak kurang, kami dari masyarakat sipil pun bersedia
untuk menjadi mitra dalam pemenuhan HAM tersebut.
KontraS, SETARA Institute, AHRC, ICTJ, PGI and PI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar