Sabtu, 02 Agustus 2014

Penyangkalan pemerintah di sesi UPR PBB sangat mengecewakan


Penyangkalan pemerintah di sesi UPR PBB sangat mengecewakan

AHRC - (Hong Kong/Geneva/Jakarta 23 Mei 2012) Hari ini, rekam jejak penegakan hak asasi manusia (HAM) Indonesia dievaluasi oleh Dewan HAM PBB dalam sesi ke-13 Universal Periodic Review di Jenewa, Swiss. 

Beberapa isu kunci seperti perlindungan atas kebebasan beragama dan situasi hak asasi manusia di Papua diangkat oleh banyak negara-negara anggota PBB yang berpartisipasi di dalam sesi tersebut. “Respon pemerintah Indonesia terhadap masalah dan pelanggaran HAM yang dibahas pada saat evaluasi tersebut sangat mengecewakan, karena pemerintah Indonesia menyangkal masalah-masalah tersebut dan gagal menunjukkan rasa hormat pemerintah terhadap hak-hak korban,” ujar Wong Kai Shing, Direktur Eksekutif Asian Human Rights Commission (AHRC). 

  
AHRC beserta organisasi saudaranya, Asian Legal Resource Centre (ALRC) mengirimkan laporan ke proses evaluasi tersebut dan membuat rekomendasi terkait beberapa masalah kunci hak asasi manusia, termasuk: kebutuhan kriminalisasi penyiksaan; reformasi institusional yang dibutuhkan untuk melawan impunitas, termasuk terhadap sistem peradilan militer; diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas dan situasi hak asasi manusia di provinsi-provinsi Papua, khususnya pelanggaran yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia tanpa adanya proses hukum. 

Versi utuh laporan ini dapat diunduh di http://www.alrc.net/doc/mainfile.php/upr/ 
Banyak hal yang menjadi fokus perhatian AHRC dan ALRC juga diangkat oleh negara-negara yang berpartisipasi di dalam sesi UPR tersebut. Swedia, Jerman dan Swiss, misalnya mengekspresikan perhatian mereka terhadap serangan dan intimidasi terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia seperti Ahmadiyah, kelompok Kristiani, Syiah dan Baha’i. Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang mengintimidasi dan menyerang kelompok agama minoritas tersebut dan meminta pemerintah untuk mencabut peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif. 
Walau mengakui adanya kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok agama minoritas, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menjadi pemimpin delegasi Indonesia menyangkal bahwa pemerintah tidak melindungi apapun untuk melindungi dan menghormati kebebasan beragama. “Pemerintah Indonesia menghormati semua agama” ujarnya meski ada banyak hukum diskriminatif berlaku di Indonesia. Sejumlah negara, termasuk Perancis, Jepang dan Selandia Baru, mengangkat masalah terkait situasi di Papua yang meliputi kekerasan yang meluas, penahanan dan penangkapan yang sewenang-wenang, serta pembatasan tidak sah terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul. 

  
Perancis secara spesifik mendesak dibukanya akses jurnalis asing ke Papua sementara Amerika Serikat dan Jerman mengangkat masalah pasal 106 dan 110 KUHP yang digunakan untuk menghukum aktivis-aktivis di Papua. Natalegawa mengklaim bahwa semua pelaku pelanggaran HAM di Papua sudah diproses dalam ‘pengadilan yang transparan dan terbuka’. Akan tetapi, AHRC dan kelompok HAM lainnya telah mendokumetasikan kasus penyiksaan dan kekerasan yang belum mendapatkan respon cukup dari pemerintah Indonesia, atau respon yang berdampak pada penghukuman terhadap mereka yang bertanggung jawab. 


Malahan, budaya impunitas yang masih dipelihara di negara ini. “Penyangkalan terhadap masalah impunitas di  provinsi-provinsi Papua sangat tidak bertanggung jawab,” ujar Wong Kai Shing. “Respon yang mengecewakan dari pemerintah Indonesia merupakan suatu kemunduran bagi mereka yang mengharapkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang lebih besar di Indonesia,” ia menyimpulkan.

Untuk informasi lebih lanjut hubungi Answer Styannes +62 8811 567 418 (bahasa Inggris dan Indonesia) answer.styannes@ahrc.asia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 02 Agustus 2014

Penyangkalan pemerintah di sesi UPR PBB sangat mengecewakan


Penyangkalan pemerintah di sesi UPR PBB sangat mengecewakan

AHRC - (Hong Kong/Geneva/Jakarta 23 Mei 2012) Hari ini, rekam jejak penegakan hak asasi manusia (HAM) Indonesia dievaluasi oleh Dewan HAM PBB dalam sesi ke-13 Universal Periodic Review di Jenewa, Swiss. 

Beberapa isu kunci seperti perlindungan atas kebebasan beragama dan situasi hak asasi manusia di Papua diangkat oleh banyak negara-negara anggota PBB yang berpartisipasi di dalam sesi tersebut. “Respon pemerintah Indonesia terhadap masalah dan pelanggaran HAM yang dibahas pada saat evaluasi tersebut sangat mengecewakan, karena pemerintah Indonesia menyangkal masalah-masalah tersebut dan gagal menunjukkan rasa hormat pemerintah terhadap hak-hak korban,” ujar Wong Kai Shing, Direktur Eksekutif Asian Human Rights Commission (AHRC). 

  
AHRC beserta organisasi saudaranya, Asian Legal Resource Centre (ALRC) mengirimkan laporan ke proses evaluasi tersebut dan membuat rekomendasi terkait beberapa masalah kunci hak asasi manusia, termasuk: kebutuhan kriminalisasi penyiksaan; reformasi institusional yang dibutuhkan untuk melawan impunitas, termasuk terhadap sistem peradilan militer; diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas dan situasi hak asasi manusia di provinsi-provinsi Papua, khususnya pelanggaran yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia tanpa adanya proses hukum. 

Versi utuh laporan ini dapat diunduh di http://www.alrc.net/doc/mainfile.php/upr/ 
Banyak hal yang menjadi fokus perhatian AHRC dan ALRC juga diangkat oleh negara-negara yang berpartisipasi di dalam sesi UPR tersebut. Swedia, Jerman dan Swiss, misalnya mengekspresikan perhatian mereka terhadap serangan dan intimidasi terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia seperti Ahmadiyah, kelompok Kristiani, Syiah dan Baha’i. Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang mengintimidasi dan menyerang kelompok agama minoritas tersebut dan meminta pemerintah untuk mencabut peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif. 
Walau mengakui adanya kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok agama minoritas, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menjadi pemimpin delegasi Indonesia menyangkal bahwa pemerintah tidak melindungi apapun untuk melindungi dan menghormati kebebasan beragama. “Pemerintah Indonesia menghormati semua agama” ujarnya meski ada banyak hukum diskriminatif berlaku di Indonesia. Sejumlah negara, termasuk Perancis, Jepang dan Selandia Baru, mengangkat masalah terkait situasi di Papua yang meliputi kekerasan yang meluas, penahanan dan penangkapan yang sewenang-wenang, serta pembatasan tidak sah terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul. 

  
Perancis secara spesifik mendesak dibukanya akses jurnalis asing ke Papua sementara Amerika Serikat dan Jerman mengangkat masalah pasal 106 dan 110 KUHP yang digunakan untuk menghukum aktivis-aktivis di Papua. Natalegawa mengklaim bahwa semua pelaku pelanggaran HAM di Papua sudah diproses dalam ‘pengadilan yang transparan dan terbuka’. Akan tetapi, AHRC dan kelompok HAM lainnya telah mendokumetasikan kasus penyiksaan dan kekerasan yang belum mendapatkan respon cukup dari pemerintah Indonesia, atau respon yang berdampak pada penghukuman terhadap mereka yang bertanggung jawab. 


Malahan, budaya impunitas yang masih dipelihara di negara ini. “Penyangkalan terhadap masalah impunitas di  provinsi-provinsi Papua sangat tidak bertanggung jawab,” ujar Wong Kai Shing. “Respon yang mengecewakan dari pemerintah Indonesia merupakan suatu kemunduran bagi mereka yang mengharapkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang lebih besar di Indonesia,” ia menyimpulkan.

Untuk informasi lebih lanjut hubungi Answer Styannes +62 8811 567 418 (bahasa Inggris dan Indonesia) answer.styannes@ahrc.asia

0 komentar:

Posting Komentar

The Voice of Papuan Students Alliance

Link Mitra